Jumat, 16 April 2021

Resume jadi Buku

 CARA MEMBUAT RESUME

ehasanah675@gmail.com

Apa itu Resume dan Bagaimana Cara Membuatnya?

Pada siang ini Jumat, 16 April 2021 Pelatihan Belajar Menulis menyajikan materi dengan tema Menulis Resume Untuk Jadi Buku. Narasumbernya adalah ibu Aam Nurhasanah, S.Pd. dan moderatornya adalah Bu Kanjeng panggilan akrab dari Bunda Dra. Sri Sugiastuti, M.Pd.


Sebelum pemaparan materi, kegiatan ini dimulai dengan sapaan lembut bu Kanjeng dengan diiringi berdoa dan memperkenalkan narasumber. Untuk lebih mengenal narasumber silahkan bisa dihubungi di;

https://aamnurhasanah12.blogspot.com/2021/01/intip-profilku-yuks.html

Dari pembelajaran siang ini diharapkan semua peserta bisa membuat resume yang nantinya bisa dijadikan buku pada akhir kegiatan pelatihan belajar menulis ini. Terutama resume yang dibuat peserta menjadi bahan menerbitkan buku tentang dunia kepenulisan.

Resume atau ringkasan adalah suatu kegiatan menyusun berbagai inti dari suatu karangan atau tulisan yang panjang menjadi bentuk yang lebih pendek, dengan syarat tidak mengubah gagasan utama teks tersebut. Atau secara logisnya ringkasan dan resume dapat diartikan dengan penyajian bentuk karangan/bahan bacaan yang panjang menjadi lebih pendek. Jadi resume itu ringkasan atau rangkuman.

Ada 7 teknik untuk menulis resume jadi buku. Ini Teknik yang disampaikan narasumber.

1.      Kmpulkan resume dalam file word.

Tentu ini dilakukan jika kita telah membuat resume lebih dari satu ya. Nah dalam pelatihan ini peserta diwajibkan membuat resume sedikitnya 20 resume dari 30 kali pertemuan yang direncanakan. Saat kita menulis resume, simpanlah file tersebut dalam satu folder. Contohnya buatlah satu buah file naskah kita dari pertemuan 1-20 kalau dari kegiatan Pelatihan Belajar Menulis ya.

2.      Menentukan tema.

Saat file kita sudah terkumpul sebanyak 20 pertemuan, pilahlah berdasarkan tema sejenis. Misalnya kita lihat materi dari narasumber. Ada narasumber yang membahas teknik penulisan, satukan filenya beri bab teknik penulisan. Jika ada narasumber yang membahas tentang penerbit indie, penerbit mayor, satukan naskah menjadi bab penerbitan. Jika ada narsum membahas tentang motivasi, tuliskan bab motivasi.  Jadilah 3 bab yanh tersusun dalam satu buku

3.      Buat TOC (Table of Content/daftar isi)

Buatlah TOC atau daftar isi yang sesuai untuk buku yang akan kita terbitkan, misalnya:

Diurutkan dari mulai cover atau jilid depan sampai halaman terakhir.

-          Cover

-          Hal penerbit

-          Persembahan

-          Kata pengantar

-          Prakata

-          Daftar isi

-          Prolog

-          Konten atau isi dari BAB 1 sampai BAB Penutup

-          Profil Penulis

-          Epilog

Atau disesuaikan dengan tempelate dari penerbit tempat dimana kita akan menerbitkan bukunya.

4.      Kembangkan TOC

Mengembangkan TOC atau daftar isi biasa dilakukan di konten buku ya.

5.      Review, revisi, dan edit naskah.

Saat kita menulis naskah, tulislah dahulu sebebas-bebasnya. Jangan sekali-kali mengedit saat sedang menulis. Karena itu bisa menghambat ide kita saat menulis. Tuliskan saja semua ide berserak. Jika selesai, barulah kita edit ejaan dan tanda baca sesuai kitab PUEBI (Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia). Usahakan hindari typo (salah ketik) dan hindari singkatan. Jika Awal kata, nama orang, nama tempat, nama hari, nama bulan, harus ditulis huruf kafital. Masih banyak ejaan lain yang berhubungan dengan EYD

6.      Jika naskah sudah selesai, buatlah sinopsisnya. Sinopsis adalah gambaran isi buku yang telah kita buat. Biasanya ada di cover belajang buku.

7.      Kirimkan ke penerbit. Jangan takut salah dan malu dengan tulisan sendiri, tenang saja ada tim editor penerbit yang siap membantu terkait penulisan kita yang salah. Hanya saja, tidak semua penerbit menyediakan jasa editor naskah. Jadi, kita harus tanyakan terlebih dahulu, apakah naskahnya di edit oleh editor atau tidak.

 

Itulah materi yang disampaikan narasumber kita Bu Aam Nurhasanah, S.Pd.

 

Tanggapan dan pertanyaan dari peserta untuk bahan tambanhan pengetahuan nich.

 

Untuk menulis resume baiknya dengan bahasa baku yang formal atau bahasa santai sehari-hari?

Ya Sebaiknya bahasa baku pak karena buku kita kan dibaca skala nasional.

Bagaimana cara kita menulis tentang para narasumber hebat , apa kita jelaskan per pertemuan atau bagaimana?

Menurut narasumber soal pertemuan tidak perlu ditulis. Karena membuat buku resume secara acak. Jadi, tidak harus runut menuliskan bukunya. Boleh diacak. Ada juga beberapa narasumber yang tidak dituliskan materinya. Boleh hanya mengambil beberapa kutipannya saja.

Bolehkah ringkasan itu dalam bentuk cerita? Sepertinya resume saya lebih cenderung ke cerita daripada seperti ringkasan pelajaran.

Boleh lihat salah satu contoh resume yang baik?

Boleh, dalam bentuk fiksi juga tidak jadi masalah

Syarat satu buku harus terdiri dari berapa bab.  apa 3 bab cukup seperti pemaparan bu Aam?

Untuk jumlah Bab, hanya tuliskan 3 saja boleh. Karena ini merupakan true story. Pengalaman menimba ilmu di kelas Om Jay. Namun, ada juga peserta yang menulis resume tidak pakai bab. Namun pakai nomer angka.

Adakah kriteria khusus dalam membuat buku kumpulan resume?

Dalam membuat buku, bagaimana caranya agar kita tahu kita tidak plagiat?

Jika kita mau membuat buku materi belajar untuk siswa, kan sudah banyak ya dimana-mana? Tapi ingin membuat yang sesuai dengan keadaan siswa, supaya tidak plagiat bagaimana ya?

Aku yang jawab ah… ini harus check plagiasm ya, sudah banyak ya checkernya contoh untuk buku ilmiah atau buku materi siswa boleh dicoba Trinitin ya.

 

Tanggal pertemuan: Jum’at, 16 April 2021

Resume ke: 6

Tema: Menulis Resume untuk Jadi Buku

Narasumber: Aam Nurhasanah, S.Pd.

Gelombang: 18

 

Kamis, 15 April 2021

April Challenge Huruf P

 PATAH LIDAH ALAMAT KALAH

PATAH KERIS ALAMAT MATI

ehasanah675@gmail.com

Menjawab tantangan menulis dengan huruf P, Aku memilih tema “Patah lidah alamat kalah, patah keris alamat mati’.  Ini adalah peribahasa yang ditemukan dalam Bahasa Indonesia. Pernahkah pembaca menemukan pribahasa ini? Apa maksud dari peribahasa ini?


Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti Patah lidah alamat kalah, patah keris alamat mati adalah tidak pandai membela perkaranya (tanda akan kalah dalam berperkara). Maksudnya tidak pandai menggunakan lidah dalam menyampaikan pendapatnya dalam mempertahankan perkara yang dihadapinya. Akibatnya perkaranya akan mudah dikalahkan lawannya.

Peribahasa di atas mengajarkan kepada kita agar kita pandai menggunakan lidah kita. Pandai mengungkapkan ide, gagasan, isi pikiran, maksud, keinginan dan sebagainya dalam berkomunikasi dengan orang lain. Penggunaan Bahasa juga harus dikuasai agar bisa bermanfaat dan sesuai dengan peraturan yang tidak melukai orang lain. Kata lisan dalam berbahasa juga sebagai sarana yang dianggap utama dan vital untuk memenuhi kebutuhan kita dalam penggunaan bahasa dalam berkomunikasi dengan orang lain.

Apalagi sebagai muslim, kita diajarkan agar diantara kita ada yang memiliki kemampuan dalam menggunakan lisannya ini untuk berdakwah. Berdakwah yakni mengajak orang lain untuk melakukan kebaikan, mengajak melakukan hal yang ma’rup dan mencegah hal-hal yang merugikan. Sesuai dengan firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Ali Imron ayat 104.

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imron 104).

 Kembali kepada lidah sebagai sarana komunikasi verbal menggunakan bahasa. Komunikasi bahasa ini juga dapat dibedakan menjadi dua macam yaitu, sarana komunikasi yang berupa bahasa lisan dan sarana komunikasi yang berupa bahasa tulis. Bahasa tulis adalah bahasa yang ditulis atau dicetak, sedangkan bahasa lisan adalah bahasa yang diucapkan atau dituturkan.

Satu hal yang harus kita perhatikan, kita harus pandai menggunakan bahasa lisan ini. Ketajaman lisan kadang juga terwujud dalam aktivitas di media sosial melalui status-status yang ditulis. Kita semestinya, sebagai umat Islam membuat status di media sosial yang tak menyinggung orang lain.

Firman Allah SWT dalam Al-Qur’an surat An-Nisaa ayat 114 menyatakan bahwa,

 "Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kami akan memberinya pahala yang besar." (QS. An-Nisaa'[4]: 114).

Diperkuat dengan sabda nabi Muhammad SAW yang diriwayat oleh Al-Bukhori yang artinya,

"Keselamatan manusia tergantung pada kemampuannya menjaga lisan." (HR. al-Bukhari).

 

#edisi jum’at berkah

#huruf P

#April Challenge hari ke-16

 

Rabu, 14 April 2021

Resume 4 Penerbit Indie

Tanggal pertemuan: Rabu, 14 April 2021

Resume ke: 4

Tema: Penerbit Indie

Narasumber: Mukminin,

Gelombang: 18


Siang hari ini Rabu, 14 April 2021 kelas menulis gelombang 18, digelar Pukul 13.00 WIB dan Mr. Bams memandu kegiatannya sesuai jadwal. Alhamdulillah Bu Kanjeng juga hadir membuka pertemuannya. Narasumbernya Bapak Mukmini, S.Pd.,M.Pd. menyajikan materi Pelatihan belajar menulis dengan sub-judul Penerbit Indie.


Ini foto Cak Inin Narasumber hari ini

Diawali dengan rasa syukur dan doa di bulan Ramadhan, materi tentang penerbit Indie dimulai. Cak Inin atau Bapak Mukminin menyebutkan alamatnya yakni beliau dari SMP I Kedungpring Lamongan Jatim. Tepatnya arah selatan kota wingko Babat keselatan 10 km arah kota Jombang.

Ada 5 Langkah untuk menulis dan.memerbitkan buku yang disampaikan narasumber.

5 langkah atau tahapan menulis dan menerbitkan buku itu yakni:

Tahap 1: Pra Writing

Tahap ini bisa dilakukan adalah dengan  tahap pra writing yaitu penulis akan mulai mencoba mencari ide yang sesuai dengan tema yang ditulis. Tema sesuai pasion yang disukai. Boleh fiksi maupun non-fiksi. Ide bisa dari pemgalaman, dari hasil membaca buku, majalah, koran ada kejadian yang sedang berlangsung.

Tahap 2. Drafting/ out line

Tahap kedua adalah drafting atau out line, pada tahap ini seorang penulis  mulai membuat out line atau daftar isi buku yang akan ditulis atau dikembangkan menjadi  naskah buku.

Tahap 3. Writing/Menulis

Saat proses ini, penulis mulai menulis dan mengembangkan kerangka atau daftar isi untuk dijadikan naskah yang lengkap dengan diperlukan kreativitas penulis dalam  membuat karya-karyanya. Kreatifitas itu berupa kemampuan merangkai kata, kemampuan menggunakan majas, kemampuan berekspresi, agar tercipta tulisan yang menarik dibaca.

Tahap 4. Revisi dan Editing

Revisi :

Setelah menuliskan banyak hal yang ingin ditulis pada naskah, pada tahap selanjutnya adalah mulai mengoreksi atau merevisi tulisan mana yang baik dicantumkan atau tidak. Pada tahap ini, Anda akan mencari tahu dimana letak kekurangan tulisan. Apakah sudah sesuai dengan alur, atau masih melebar kemana-mana. Dan dilanjutkan  tahap revising.  Seorang penulis dapat mengubah beberapa bagian dari tulisannya. Ia juga bisa menambah isi tulisannya. Ia dapat menambahkan data baru, ia dapat menghilangkan opini tertentu, dan lain sebagainya. Intinya, melalui tahap revisi inilah penulis akan memoles karyanya, ia akan menjadikan tulisan tersebut semakin menarik lagi.

Editing:

Pada tahap ini penulis akan menjalankan proses pengeditan terhadap karyanya. Berbeda pada tahap revisi yang masih bisa menambah mengurangi isi tulisan, pada tahap ini penulis hanya memperbaiki berbagai kesalahan tanda baca, kesalahan pola kalimat, dan berbagai kesalahan tata bahasa lainnya. Meskipun nanti tulisan Anda akan kembali diedit oleh editor di penerbit, seorang penulis tetap harus berusaha menyunting tulisannya sendiri atau dengan istilah lain Swasunting.

Tahap 5. Publikasi

Jika sudah  yakin dengan tulisan naskah buku, maka saat memasuki tahap akhir yakni publikasi. Pada tahapan ini bisa diteruskan naskahnya ke penerbit.

 

Pertanyaan yang muncul kemudian, apakah sudah menemukan penerbit yang bisa menerima naskah yang kita buat?

Jangan khawatir, sekarang bisa menerbitkan buku secara independen. Ada banyak penerbit independen (penerbit Indie) yang siap membantu untuk menerbitkan naskah.


Ini foto-foto buku karya narasumber buku 55 Pantun Nasihat diterbitkan kelompok Majas Bojonegoro. Dan buku Jurus jitu Menjadi Penulis Andal Bersama Pakar diterbitkan KAMILA PRESS LAMONGAN. Juga 8 buku karya bersama  Antologi).

Penerbit Buku itu ada 2jenisnya yaitu Penerbit Mayor dan Penerbit Indie.

 Apa perbedaanya? mari kita ikuti uraian berikut ini :

1.  Jumlah Cetakan di penerbit mayor.

# Penerbit mayor mencetak bukunya secara masal. Biasanya cetakan pertama sekitar 3000 eksemplar atau minimal 1000 eksemplar untuk dijual di toko-toko buku.

#Penerbit indie : hanya mencetak buku apabila ada yang memesan atau cetak berkala yang dikenal dengan POD ( Print on Demand) yang umumnya didistribusikan melalui media online Facebook, Twitter, Instagram, Youtube, WA grup dan lainnya.

2.  Pemilihan Naskah yang Diterbitkan

# Penerbit mayor:

Naskah harus melewati beberapa tahap prosedur sebelum menerbitkan sebuah naskah. Tentu saja, menyambung dari poin yang pertama, penerbit mayor mencetak bukunya secara masal 1000 - 3000 eksemplar. Mereka ekstra hati-hati dalam memilih naskah yang akan mereka terbitkan dan tidak akan berani mengambil resiko untuk menerbitkan setiap naskah yang mereka terima. Penerbit mayor memiliki syarat yang semakin ketat, harus mengikuti selera pasar, dan tingginya tingkat penolakan.

# Penerbit indie :

Tidak menolak naskah. Selama naskah tersebut sebuah karya yang layak diterbitkan; tidak melanggar undang-undang hak cipta karya sendiri, tidak plagiat, serta tidak menyinggung unsur SARA dan pornografi, naskah tersebut pasti kami terbitkan. Kami adalah alternatif baru bagi para penulis untuk membukukan tulisannya.

3.  Profesionalitas

# Penerbit mayor :

Penerbit mayor tentu saja profesional dengan banyaknya dukungan SDM di perusahaan besar mereka.

# Penerbit indie : kami pun profesional, tapi sering disalah artikan. Banyak sekali anggapan menerbitkan buku di penerbit indie asal-asalan, asal cetak-jadi-jual. Sebagai penulis, harus jeli memilih siapa yang akan jadi penerbit Bapak Ibu dan Saudara-saudara. Jangan tergoda dengan paket penerbitan murah, tapi kualitas masih belum jelas. Mutu dan manajemen pemasaran buku bisa menjadi ukuran penilaian awal sebuah penerbitan. Kadang murah Cover kurang bagus, kertas dalam coklat kasar bukan bookpaper ( kertas coklat halus). Kami jaga mutu Cover bagus cerah mengkilat isi buku kertas cokal halus awet ( bookpapar).

4.  Waktu Penerbitan

# Penerbit mayor :

Pada umumnya sebuah naskah diterima atau tidaknya akan dikonfirmasi dalam tempo 1-3 bulan. Jika naskah diterima, ada giliran atau waktu terbit yang bisa cepat, tapi ada juga yang sampai bertahun-tahun. Karena penerbit mayor adalah sebuah penerbit besar, banyak sekali alur kerja yang harus mereka lalui. Bersyukur kalau buku bisa cepat didistribusikan di semua toko buku. Namun, jika dalam waktu yang ditentukan penjualan buku tidak sesuai target, maka buku akan dilepas oleh distributor dan ditarik kembali oleh penerbit.

# Penerbit indie :

 Tentu berbeda kami akan segera memproses naskah yang kami terima dengan cepat. Dalam hitungan minggu bukumu sudah bisa terbit. Karena memang, kami tidak fokus pada selera pasar yang banyak menuntut ini dan itu. Kami menerbitkan karya yang penulisnya yakin karya tersebut adalah karya terbaiknya dan layak diterbitkan sehingga kami tidak memiliki pertimbangan rumit dalam menerbitkan buku.

5.  Royalti

# Penerbit mayor :

Kebanyakan penerbit mayor mematok royalti penulis maksimal 10% dari total penjualan. Biasanya dikirim kepada penulis setelah mencapai angka tertentu atau setelah 3-6 bulan penjualan buku.

# Penerbit indie :

Umumnya 15-20%  dari harga buku. Dipasarkan dan dijual penulis lewat fb, Instagram, wa grup, Twitter, status, dan lainnya.

6. Biaya penerbitan

# Penerbit mayor :

Biaya penerbitan gratis. Itulah sebabnya mereka tidak bisa langsung menerbitkan buku begitu saja sekalipun buku tersebut dinilai bagus oleh mereka. Seperti yang sudah disebut di atas, penerbit mayor memiliki pertimbangan dan tuntutan yang banyak untuk menerbitkan sebuah buku karena jika buku tersebut tidak laku terjual, kerugian hanya ada di pihak penerbit.

# Penerbit indie :

Berbayar sesuai dg aturan masing-masing penerbit. Antara penerbit satu dengan yang  lain berbeda. Karena pelayanan dan mutu buku yg diterbitkan tidak sama.

Contoh penerbit mayor adalah Gramedia Pustaka Utama, Mizan, Republika, Grasindo, Loka Media, Tiga Serangkai, Bentang Pustaka, Erlangga, Yudhistira, Andi Yogyakarta dan lain sebagainya.

Contoh penerbit Indie yg ada dalam grup belajar menulis bersama PGRI:

YPYD. Gemala, Kamila Press Lamongan

KAMILA PRESS LAMONGAN sebagai penerbit Indei melayani cetak buk , jasa lengkap dengan jasa desain cover buku,   Lay out,  editing dan ISBN. Jasa Penerbitan KAMILA PRESS LAMONGAN dengan harga terjangkau (harga terlampir).

Penerbitan ini telah melayani seluruh Indonesia. Alhamdulilah dalam tahun 2020 sebagai penerbitan tahun perdana yg berjalan mulai  September s.d Desember 2020 telah menerbitkan 17 buku dari teman2 guru dari pulau Jawa, NTT, Kalimantan, dan Sumatera.

Januari  2021 Minggu pertama  menerbitkan 7 buku dan cetak ulang 4 buku dari penerbit lain.

Bulan Februari 2021  alahamdulillah menerbitkan  9 buku.

Bulan Maret 2021 menerbitkan 3 buku.  Bulan April 2021 sekarang ini proses 5 buku.

Untuk menyajikan naskah: Ketik kertas  A5 ukurannya 14,8 x 21 cm, spasi 1,15 ukuran fon 11 dan margin kanan 2 cm, kiri 2 cm, atas 2 cm dan bawah 2 cm. Gunakan huruf Arial, calibri atau  Cambria dan masukkan dalam 1 file kirim ke WA atau email gusmukminin@gmail.com

Untuk judul dan Cover;

a. Untuk judul kalau kurang pas akan dibantu diusulakan judul yang menarik.

Cover buku:

b. Cover buku boleh dibuat sendiri dan tinggal dipoles biar cantik dan menarik dengan kesepakan penulis.

c. Cover yang diminta, penerbit siap membuatkan.

Fasilitas di Penerbit KAMILA PRESS LAMONGAN

Selain mendapat fasilitas buatkan cover buku, layout, edit dan ISBN penulis juga dapat PO ( Pre Order ) buku / promo buku dengan harganya serta dapat sertifikat dari penerbit yang kerja sama dengan pencetakan.

Rincian biaya cetak buku  TERBARU ( TERJANGKAU) di KAMILA PRESS LAMONGAN,  hub. hp/wa Mukminin, 081330944498,

Biaya Cetak buku  A5, kertas "Bookpapar (coklat halus)", termasuk biaya ISBN, Layuot, edit, cover buku:

A. 60 halaman:

#  Cetak 5 buku/ eksp. =  566.000

# Cetak 10 buku/ eksp. =  632.000,

plus ongkir

B. 70 hlm: 

#  Cetak 5 buku = 570.000

# Cetak 10 buku = 650.000,

. Plus Ongkir

C. 85 hlm :

 # Cetak 5 buku = 580.000

# Cetak 10 buku = 660.000

D. 90 hlm:

# Cetak 5 buku = 600.000

# Cetak 10 Buku = 715.000

E. 100 hlm:

# Cetak 5 buku = 635.000

# Cetak 10.Buku = 725.000

F. 125 hlm:

# Cetak 5 buku = 650.000

# Cetak 10 buku = 751.000

G. 150 hlm=

# Cetak 5 buku = 665.000

# Cetak 10 buku = 800.000

H. 200 hlm:

# 5 buku = 695.000

# 10 buku = 841.000

I. 250 hlm:

# Cetak 5 buku = 725.000

# Cetak 10 buku = 900.000

J. 300 hlm:

# Cetak 5 buku = 753.000

# Cetak 10 buku = 957.000

#  SETELAH CETAK 10 BUKU DENGAN JUMLAH HALAMAN DAN HARGA TERSEBUT, Lebihnya dihitung harga cetak ulang :

1.  Cetak buku 60 hlm

Harga @ 20.000

2. Cetak buku 70-75  hlm harga  @21.000

3. Cetak buku 100 hlm. Harga @ 23.500

4. Cetak buku 140 hlm harga @ 27.000

5. Cetak buku 150 hlm @ 30.000

6. Cetak buku   250 hlm. Harga @ 40.000

7. Cetak buku  300 hlm. Harga @  45.000

Cetak buku A5, 50 buku.

Rincian:

1. Cetak 10 buku ( layout, cover buku, edit, PO buku) harga 632.000

2. Sisanya  40 buku dihitung x cetak ulang @ 20.000= 800.000

3. Ongkir 5kg x 18.000 = 90.000

Total 1.522.000

 

Selasa, 13 April 2021

Memoarku

#AISEI April Challenge

#13 April 2021 

KARTINI

ehasanah675@gmail.com

 

Semangat yang diwariskan seorang perempuan bernama RA Kartini adalah salah satu contoh dari keteguhan menggapai impian. Setiap perempuan pasti memiliki impian masing-masing. Tidak berbeda juga dengan aku, mempunyai keteguhan yang sama,dalam mengeluti bidang yang aku pilih dan terus berjuang mewujudkannya. Semangat, inspirasi, dan spirit RA Kartini untuk mengenyam Pendidikan juga berkecamuk di dadaku. Sebagai ungkapan hal-hal yang dialami aku curahkan dalam cerita di bawah ini.

 

AKU DAN BANGKU SEKOLAH

E. Hasanah

P

erkenalkan, namaku E. Hasanah. Orang memanggilku ibu Hasanah. Dan di sana berdiri sebuah benda yang menantang dalam bisu dan diam. Penampilan benda itu sederhana bahkan nampak tak ada yang istimewa. Ketika seseorang mencoba mendudukinya, benda berkaki empat itu tak bereaksi. Namun tantangan yang ditawarkannya membuat siapapun yang bisa menaklukkan seakan mendapatkan kunci kesuksesan hidupnya.

Ya, benda berkaki empat itu bernama bangku sekolah, bangku madrasah, atau bangku kuliah. Sebuah benda yang bisa mengantarkan seseorang meraih cita-cita untuk masa depannya.

Sejak usia dini, aku sudah berkhayal bisa menduduki bangku itu setinggi yang aku bisa. Sama seperti sosok idolaku, seorang guru yang namanya bertambah dengan gelar tanda kesuksesan menaklukkan bangku sekolahnya.

Menginjak usia 6 tahun, menduduki bangku sekolah dasar telah menjadi keinginanku. Tidak ada Taman Kanak-kanak atau PAUD waktu itu. Walaupun awalnya tanpa sepengetahuan dan ijin orang tua, aku ikut-ikutan masuk sekolah. Karena dianggap belum layak dan belum cukup umur untuk menduduki bangku sekolah dasar. Selain jarak dari rumah ke SD terdekat sekitar 4 Km dan harus berjalan kaki. Ayahku menitipkan aku hanya untuk bisa duduk di bangku madrasah diniyah yang waktu pembelajarannya siang hari setelah zuhur sampai waktu ashar tiba. Ini juga karena letak madrasah itu dekat dengan rumah kami.

Aku ingat betul lulus sekolah dasar pada juli 1980. Mulai tahun 1974 Aku habiskan belajar di sekolah dasar negeri di Bojonggenteng (SDN Bojonggenteng) kurang lebih 6 tahun. Kenapa aku katakan kurang lebih? Karena di saat kelas 5, waktu kenaikan kelas diperpanjang 6 bulan, jadi satu tahun pelajaran durasinya satu setengah tahun. Dari menggunakan catur wulan yang terdiri 3 catur wulan dalam satu tahun pelajaran menjadi sistem semester.

Awal menduduki bangku SD itu, aku ikut-ikutan teman sepermainan yang usianya lebih tua. Pagi-pagi berangkat ke sekolah tanpa baju seragam. Satu dua hari aku ikut duduk di bangku kelas satu. Tiba pada hari ke-tiga seorang guru, mengabsen dan memanggil aku. Masih terngiang bu guru bilang, kalau ingin sekolah lagi besok harus diantar ibu atau bapakmu ya, katanya. Ketika pulang ke rumah, aku sampaikan pada ibuku bahwa besok boleh ikut sekolah lagi dengan syarat diantar dulu oleh ibu.  Ibuku hanya terdiam. Malamnya setelah belajar alif batasa, aku bilang lagi kepada ayahku bahwa besok ingin sekolah dan minta diantarkan. Ayahku berujar, kamu belum waktunya masuk sekolah, umurnya masih kurang, ikut jadi anak bawang saja katanya.

Pagi-pagi aku berangkat lagi ke sekolah, kali ini bapak guru yang memanggil. Mana bapakmu nak, katanya. Aku ketakutan, aku manangis dan akhirnya aku pulang ke rumah nenekku yang jaraknya tidak jauh dari sekolah. Dengan lembutnya nenek membelai rambutku. Sambil memberikan segelas air minum, Emak (panggilan aku kepada nenek) menenangkanku. Besok mandi yang bersih dan pakai baju yang paling bagus ya, bisiknya. Emak akan daftarkan kamu ke bapak guru. Sekarang sesudah makan nanti pulang ya, hawatir ibumu mencari-cari kamu, tambahnya.

Seperti pagi kemarin, aku sudah menunggu teman yang akan berangkat sekolah. Aku ikut bergabung dengan mereka, berjalan kaki tanpa alas kaki sekitar 4 km ke sekolah.  Ketika tiba di sekolah, nenek sudah menunggu aku. Benar saja nenekku menepati janjinya dan mendaftarkan aku untuk bisa duduk di bangku kelas satu. Waktu itu pembelajaran sudah berjalan di tengah-tengah tahun. Aku bangga diberi tempat duduk di bangku paling depan. Ibu guru rasanya begitu baik kepadaku sekarang, pikirku. Entah apa yang dikatakan Emak kepadanya.

Hari-hari di masa kanak-kanakku dilewati dengan penuh kegembiraan. Tanpa beban dan bebas bermain dengan teman-teman di lingkungan rumahku. Dari bangun pagi Aku bergiat, bersiap-siap pergi sekolah sekitar pukul 6.00 WIB, dan belajar di bangku sekolah SD sampai waktu zuhur tiba. Pulang dari SD makan langsung belajar lagi di bangku madrasah diniyah sampai waktu ashar. Main sebentar dengan teman, kemudian selesai salat magrib harus mengaji bersama di rumah seorang guru ngaji. Begitu terus kegiatanku setiap hari. Sering aku sakit-sakitan. Ayahku bilang aku kecapean. Tapi tak ada keluh yang keluar dari mulutku karena aku takut ayahku memberhentikan sekolahku. Pernah suatu hari aku sakit agak parah di kelas, ibu guruku memapah dan menyuruh aku istirahat di kamar rumahnya. Kebetulan rumahnya berlokasi di belakang gedung sekolah. Sore hari Emakku menjemput dan menggendongku pulang. Masih terngiang Emakku bilang, jangan sekolah kalau merasa sakit karena akan merepotkan semua termasuk ibu guru, ujarnya. Emak sangat menyayangiku, karena beliau hanya memiliki satu anak perempuan yakni ibuku. Sedangkan ibuku melahirkan sampai 15 anak, tapi sayangnya hanya 4 orang yang berumur panjang. Aku anak ke-11 dari urutan lahirnya, dan menjadi anak ke-3 dari 4 bersaudara dari anak orangtuaku yang hidup. Aku merupakan anak perempuan satu-satunya dan juga cucu perempuan dari nenekku. Otomatis keluargaku sangat memanjakan dan menyayangiku. Suka duka menghabiskan masa kecil di bangku sekolah dasar sangat berkesan bagiku.

J

uli 1980, setelah menyelesaikan sekolah dasar dan dinyatakan lulus melewati bangku sekolah dasar, aku mendaftarkan diri ke sebuah madrasah Tsanawiyah yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah. Berangkat dengan teman sepermainan tanpa diantar orangtua. Seorang guru yang menerima pendaftaran siswa baru berujar,

“menitipkan ayam saja kita harus permisi dan minta ijin. Ini menitipkan anak kok orang tuanya tidak mau datang”.

Hatiku sedih mendengar kalimat yang diucapkan guru itu. Aku mengadu ke Ayahku dan menirukan ucapan guru itu. Ayah hanya menimpali, “Iya, nanti Bapak titipkan kepada guru itu kalau ketemu di mesjid.” Ayahku seorang yang taat beribadah dan tiap hari tanpa absen pergi ke masjid terutama waktu ashar, magrib, isya, dan subuh. Kecuali salat zuhur ayahku jarang berjamaah di masjid karena biasanya salat di tempat dekat sawah atau kebun. Pekerjaan ayah sehari-hari sebagai petani dan menggarap sendiri tanahnya. Beliau berpendidikan hanya sampai kelas 2 SR (Sekolah Rakyat). Wajar dengan sikap dan pandangan terhadap bangku sekolah anaknya seperti itu. Tapi untuk bayar biaya bangku sekolah, pasti ayah tidak akan kompromi, berapapun pasti sangat dipentingkan walaupun sampai harus menjual beras untuk makanku. Hanya mengandalkan hasil tanaman yang dikerjakan dengan tenaganya sendiri. Beliau berpendapat membayar pendidikan anak adalah shodakoh dan infaq yang menjadi investasi akhiratnya. Namun kadang tenaganya tidak mencukupi untuk membiayai keempat anaknya. Aku banyak dibantu oleh Emakku. Bangku madrasah Tsanawiyah ku lewati juga dengan mudah.

Keinginan untuk menduduki bangku sekolah menggodaku. Selepas bangku madrasah Tsanawiyah, aku merayu ayahku agar diberi ijin untuk melanjutkan ke SLTA. Ayahku hanya terdiam dan membiarkan aku mendaftarkan diri ke sebuah SMA Negeri yang letaknya jauh dari rumahku. Aku harus dua atau tiga kali naik angkutan umum untuk sampai ke sekolah tersebut. Dengan modal keinginan dan tekad kuat, tercapai juga aku bisa mendaftarkan diri menduduki bangku sekolah. Masalah muncul, ongkos kendaraan umum harus ada tiap hari. Sedangkan ayahku tidak punya penghasilan, selain hasil berupa buah-buahan yang beliau tanam sendiri. Itupun 3 atau 4 bulan baru bisa ditukar uang. Allah maha kuasa, selalu ada jalan bagi yang mau berusaha. Selain aku diterima di sebuah SMA Negeri yang bayarannya relatif lebih murah dibanding beberapa sekolah sederajat lainnya. Aku juga dititipkan kepada teman ayahku di sebuah pondok pesantren yang lokasinya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Untuk bekal sehari-hari aku dibantu juga oleh Emakku. Suka duka menduduki bangku sekolah di SMA Negeri ini benar-benar menempa diriku. Kekurangan ekonomi untuk membiayai bangku sekolah ini sangat terasa. Kesabaran untuk menaklukkan bangku sekolah sangat mengharu biru, tapi pantang aku mengeluh dan berkisah sedih kepada ayahku. Karena satu ketakutanku, aku takut disuruh meninggalkan bangku sekolah.

Godaan datang di saat aku duduk di bangku kelas dua. Emakku berkata ada seseorang yang datang dan meminta agar aku mau menjadi istrinya. Sebagai jawabannya, hanya air mata yang mengalir deras dan aku tidak pulang ke rumah Emak.

Dengan kesabaran aku selesaikan juga bangku sekolah SMA ini. Berbagai cerita suka duka terekam dalam memori kenanganku. Sebelum ijazah aku pegang sebagai tanda telah tamat SMA, beberapa teman ramai membicarakan SIPENMARU, yakni Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Bagiku sendiri hanya bisa menelan ludah, jangan kan untuk bisa duduk di bangku kuliah, bisa menyelesaikan bangku SMA saja sudah Alhamdulillah.

Where there’s a will there’s a way

Proverbs atau pribahasa “Where there’s a will there’s a way” (Di mana ada kemauan di sana ada jalan) rasanya sangat mengena dengan keadaanku saat itu. Aku bertemu dengan kepala madrasah MTs tempat asal aku bersekolah. Beliau menanyaiku apakah yang akan aku lakukan setelah tamat SMA. Aku hanya tertunduk tanpa menjawab. Rupanya beliau cukup memahami keadaanku. Ketika ayahku pulang dari masjid setelah salat isya, ayahku memanggil. Kata ayah, “Kamu bicara dengan Pak Haji Syarif ya? Kamu bicara apa? Bilang ingin melanjutkan sekolah?” dan pertanyaan-pertanyaan lain. Seperti biasa jawabanku hanya isakan tangis. Aku tidak berani menatap ayahku. Beliau melanjutkan, “Bapak mengerti kamu mau kuliah tapi apa daya, mengertilah kamu.” Beberapa hari kemudian, pak Syarif datang berkunjung malam hari. Mereka ngobrol ngaler ngidul dari mulai membicarakan bebek sampai sawah yang akan segera ditanam. Tiba-tiba beliau membicarakanku. Yang aku dengar beliau menyarankan ayahku untuk mau membiayaiku menduduki bangku kuliah. Jelas terdengar di telingaku,

“Kang … tidak akan rugi kalau untuk biaya sekolah. Anakmu pasti jujur sekolahnya.” “Mungkin kalau hanya biaya masuk bisa diusahakan, tapi untuk biaya hariannya dari mana.” Jawab ayahku.

“Percayalah pasti nanti ada jalannya, asal ada usaha.” timpal pak Syarif.

Hari perpisahan kelas 3 SMA tiba, teman-teman ceria karena mereka sudah memiliki pegangan melanjutkan ke perguruan tinggi pilihannya masing-masing. Sementara aku sangat bersedih dalam kegembiraan mereka. Hanya doa yang aku panjatkan kepada sang Khalik, Ya Allah berikan aku kesempatan agar bisa duduk di bangku kuliah seperti mereka dengan segala keajaiban dan Rahman Rahim-MU. Aku yakin tidak ada yang mustahil dan itu sangat mudah bagi-MU, bisikku.

Malam setelah pulang mengaji, aku beranikan diri minta ijin ke ayahku untuk ikut ke Jakarta bersama adik Emakku. Aku berniat bisa bekerja apa saja di Jakarta. Ayahku hanya terdiam. Emakku juga terlihat hawatir ketika aku utarakan niatku. Nasihatnya, “Sekarang kamu bilang saja sama bapakmu agar bisa daftar kuliah, nanti untuk bekalnya Emak akan bantu”. Merasa mendapat angin segar, aku temui lagi ayahku. Aku katakan seperti saran Emak. Akhirnya ayahku menjual sepetak tanah sawahnya agar aku bisa masuk dan duduk di bangku kuliah. Sedih dan bahagia bercampur.

B

angku kuliah sebuah perguruan tinggi swasta di Bogor akhirnya bisa ku duduki. Aku mengambil program studi Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Aku tetap ingin mewujudkan mimpi untuk menjadi guru.

Akhirnya takdir muallaq tercapai juga aku duduk di bangku kuliah. Aku jalani dan ikuti sebaik mungkin pembelajarannya. Untuk kebutuhan sehari-hari, Emakku banyak membantu. Namun takdir mubram sebagai ketentuan Allah yang mutlak dan tidak bisa diubah juga menghampiriku. Jodohku datang disaat bangku kuliah itu berada di tingkat 2. Calon suamiku adalah teman kuliah satu fakultas beda prodi. Awal perkenalan di kampus saat ada suatu kegiatan mahasiswa yang melibatkan tiga prodi dalam satu fakultas. Perkenalan biasa sebagai sesama mahasiswa, Dia sebagai panitia dan aku hanya peserta utusan dari prodiku. Hanya ada kemiripan dari berbagai hal, mulai dari namanya yang hampir sama, Hasan – Hasanah, sampai tanggal lahir yang hanya pautan satu minggu. Dan yang paling membuatku mati langkah adalah kakeknya dengan kakekku adalah bersahabat. Sehingga ketika dia main ke rumah sebagai teman biasa (bukan pacar ya), eh kakek-kakek tuh malah menjodohkan kami.

Aku katakan mati langkah karena kami tidak bisa menolak “keinginan” kakek kami. Mereka menjodohkan kami padahal bangku kuliah masih jauh harus diselesaikan. Akhirnya kami nikah gantung (Menikah secara resmi di KUA tapi kami tidak bersatu dan masih tetap berstatus mahasiswa dan menjalani kehidupan seperti layaknya mahasiswa lain. Kami pacaran setelah ada ikatan pernikahan).

Tahun 1992, dengan susah payah dan suka duka romantika kehidupan yang kami lewati bersama, akhirnya bangku kuliah ini kami akhiri dengan ditandai acara wisuda. Sangat terasa perjuangan untuk menaklukkan bangku kuliah ini begitu berat karena aku harus berperan dalam keluarga, kuliah, dan bekerja. Namun pahitnya menaklukkan bangku kuliah ini Allah memberikan ganjaran dengan memudahkan aku mengikuti tes padahal ijazah belum ditangan, hanya berbekal surat keterangan lulus. Setelah menyelesaikan berbagai persyaratan, aku diangkat sebagai CPNS. Sujud syukur aku atas pencapaian ini.

S

ukabumi… Sukabumi… Sukabumi … Suara kondektur membuyarkan lamunanku. Entah berapa lama aku termangu dan asyik menikmati alur cerita dari kisah hidupku. Begitu cepat waktu berlalu padahal masih banyak yang belum aku tuntaskan tapi usia bertambah lebih cepat.

Sekarang aku sedang duduk di kursi paling depan di belakang sopir. Sambil menikmati perjalanan, aku perhatikan kondektur yang masih menawarkan jasa untuk naik ke bisnya. Kursi bis masih belum terisi penuh ketika keluar dari terminal Leuwi Panjang Bandung ini. Sesekali ada orang yang naik atau turun dari bis yang aku tumpangi. Mereka memberhentikan bis di tengah perjalanan.
Tiba-tiba seorang ibu yang memakai bluse polos dan rok panjang berwarna coklat tua naik. Kerudungnya motif bunga., serasi dengan bajunya. Dari cara berpakaian, nampaknya dia seorang guru atau pegawai pemerintah yang gaya berpakaiannya rapih. Maaf bu kursinya sudah ada yang menempati, tanyanya. Refleks dudukku bergeser. Silahkan bu masih kosong, jawabku singkat. 
Tanpa disadari percakapanpun mengalir. Dari mulai bertanya turun di mana dan tinggal di mana sampai obrolan ngaler ngidul. Waktu 3 jam lebih perjalanan Bandung – Sukabumi tidak terasa lama. Yang paling menarik dari tema yang kami obrolkan tentu masalah pendidikan karena beliau juga seorang guru. Ternyata beliau adalah asli orang Bandung yang diberi tugas mengajar di sebuah SMA di daerah Sukabumi. Sekarang beliau tinggal dan mengontrak rumah di sekitar sekolah tempat mengajarnya. Pertanyaan dan jawaban mengalir begitu saja dan terus susul menyusul sampai kami saling bercerita tentang bangku sekolah yang kami lewati.

Saya habis *pulang* menengok orang tua, dan minta doanya agar bisa masuk kuliah lagi, ujarnya. Ibu sendiri mau ke mana, tanyanya.

“Tadi saya dari kampus bu, ada ujian komprehensif. Saya berangkat ke Bandung-nya kemarin. Menemui dosen minta tanda tangan untuk proposal disertasi. Alhamdulillah semester ini tinggal melakukan penelitiannya.” Kataku menjelaskan.

Bis segera tiba di terminal Sukabumi, kami saling berpamitan. Si ibu turun di Sukaraja sementara aku ditunggu suami di pintu gerbang terminal. Sambil menarik napas panjang, Alhamdulillah tiba juga diterminal Sukabumi. Tapi perjuanganku menaklukkan bangku sekolah belum usai.

Satu langkah lagi tantangan yang aku taklukkan bernama bangku sekolah ini, yakni bangku kuliah di ruang Pascasarjana S3 Ilmu Pendidikan salah satu Universitas terkenal di Bandung ini. Aku yakin bisa, bisa, dan bisa, walaupun usia sudah menua.

 

Siap Asesmen Madrasah

 ASESMEN MADRASAH TP 2023-2024         Di bawah ini disajikan prosedur operasional standard (POS) asesmen madrasah tahun pelajaran 2023-2024...