MULUTMU IBU GURU
Oleh: E. Hasanah
Senin pagi adalah waktu yang
paling tidak aku sukai. Alasannya sederhana saja, mau tahu kenapa? Semua orang
yang memiliki tugas dinas atau pekerjaan yang terikat, baik sebagai guru,
perawat, dokter, karyawan, atau apapun itu pasti merasakannya. Begitu juga
dengan aku, sehingga menghadapi senin sudah penat duluan. Sampai suatu saat aku
bilang kepada wakil kepala sekolah bagian kurikulum, bahwa kalau memungkinkan
aku tidak diberi jadwal mengajar hari senin. Jawaban Wakakur (panggilan akrab
kami-guru-guru-kepada rekan yang diberi tugas tambahan sebagai wakil kepala
sekolah bagian kurikulum), Insya Allah nanti mudah-mudahan bisa di semester 2.
Kalau sekarang tidak bisa karena jadwalnya sudah fix. Merubah jadwal satu orang
guru berarti akan merubah jadwal guru lainnya, katanya. Ya aku mengerti.
Sebelum semester 1 berakhir, aku menemui lagi wakakur untuk meminta kembali keringanan untuk tidak ada jadwal di hari senin. Karena jadwal jam mengajar aku padat, 36 jam pelajaran dalam seminggu, jadi tidak dikabulkan permintaannya. Tetap harus ke sekolah tiap hari. Tapi ada kebijakan yakni diberi keringanan hari senin jadwal masuk kelas hanya 4 jampel. masuk jam pelajaran ke-4, yakni pukul 10.15 setelah istirahat ke-1. Alhamdulillah sangat bersyukur aku.
Hari senin ini aku berangkat ke
sekolah agak siang. Santai saja, dari rumah berangkat sekitar pukul 8.00 WIB.
Di jalan sudah lenggang, karena karyawan sudah masuk pabrik. Kebetulan
sepanjang jalan dari rumah ke sekolah melewati beberapa pabrik yang karyawannya
ribuan, jadi suatu kenikmatan juga buat aku ketika berangkat sekolah tidak
macet. Tiba di sekolah sekitar jam 8.45 WIB, masih belum waktunya masuk jadwal
ngajarku. Sambil bersilaturahim aku bermaksud menemui Wakakur, hanya untuk
menanyai kabar dan informasi agenda sekolah. Kebetulan Wakakur sedang berada di
ruangannya.
Sambil santai di ruangannya, kami
berbincang tentang agenda sekolah. Tiba-tiba Wakakur bertanya, “Bu Has panitia
PKL, kan? sekarang kan wali kelas 11 ya?’. Agenda rutin tahunan kelas 11 kan
PKL (Pembelajaran Kunjungan Lapangan), katanya mengingatkanku. Sesuai rencana
akan dilakukan bulan depan jadi mohon dipersiapkan juga siswa-siswi binaannya
bisa ikut semua katanya. Siap jawabku pendek.
Merasa perlu mengingatkan program sekolah tentang PKL itu, sebelum jam istirahat aku sudah berada di depan ruang kelas XI IPS 2. Aku diberi tugas menjadi wali kelas XI IPS2 tahun pelajaran ini. Aku menunggu guru keluar dari ruang kelas. Waktu istirahat tiba, aku meminta waktu istirahat siswa sebentar. Aku memberi pengarahan dan support kepada siswa agar semua bisa berangkat.
Dengan wajah-wajah sumringah mereka antusias ingin ikut PKL ke Bandung
dan Yogyakarta. Tahun ini telah direncanakan PKL akan dilaksanakan bulan
Februari dengan tujuan kunjungan dimulai dari Museum Geologi Bandung, UGM,
Taman Pintar, dan pasti tidak akan ketinggalan kalau ke Yogyakarta itu ke Candi
Parambanan, Candi Borobudur, dan Malioboro.
Aku konfirmasi keikutsertaan mereka
satu persatu dengan memanggil dan menanyakan kesiapannya. Semua siswa kelas XI
IPS 2 siap mengikuti PKL ke Bandung- Yogyakarta. Ada beberapa permintaan dari
mereka, seperti mereka meminta siswa dari kelasnya berangkat dalam satu bis
yang sama. Meminta dibuatkan kaos seragam kelas agar memudahkan mengenal mereka
dari kelas kebanggaannya. Dan hal-hal lain yang bersipat teknis. Sekolah kami
memiliki agenda rutin PKL untuk kelas XI ini tiap tahun, dan aku selalu diberi
tugas kalau tidak di kegiatan PKL ya biasanya pada kegiatan Ujian akhir kelas
XII. Untuk tahun pelajaran ini aku diberi tugas menjadi panitia PKL sebagai
sekretaris. Jadi aku harus mempersiapkannya lebih matang agar hal-hal yang
tidak diinginkan tidak terjadi. Juga berkaca dari pengalaman kegiatan PKL tahun-tahun
sebelumnya. Aku yakinkan kelas XI IPS 2 binaanku ini bahwa mereka akan
mengikuti kegiatan PKL ini dengan menyenangkan dan memberikan pengalaman yang
luar biasa bagi mereka.
Sesuai dengan perencanaan yang telah
matang dibuat, kami berangkat PKL di bulan Februari ini. Kepala sekolah beserta
wali kelas dan guru yang ditugaskan siap membimbing siswa-siswi seluruh kelas
XI yang berjumlah 10 rombel. Peserta yang berangkat dari 10 kelas tersebut
diatur menjadi 8 rombongan sesuai dengan bis yang digunakan. Aku mengatur sedemikian
rupa agar complain dari siswa dapat dikurangi. Susah juga melayani keinginan
semua siswa tapi minimal mereka mengerti bahwa pengaturan kelompok dalam
rombongan ini dimaksudkan agar pelaksanaan PKL-nya efektif, efesien, dan tidak
membebani mereka dengan biaya yang tinggi.
HORREEE…
KITA JALAN-JALAN NIH
Bis 1 sampai 8 berjajar di pinggir
jalan, siap membawa kami melaksanakan PKL ke Bandung-Yogyakarta. Wajah-wajah
bahagia terpancar dari para peserta. Kami berkumpul di lapangan basket untuk
briefing, membahas teknis dan hal-hal yang harus disepakati bersama, juga tidak
ketinggalan membaca doa bersama sebelum berangkat. Aku naik di bis 5 karena
peserta di bis ini sepertiganya adalah kelas XI IPS2 binaanku. Sepanjang
perjalanan aku duduk di bis-nya berpindah-pindah. Bagi aku ini adalah
kesempatan untuk mengenal lebih dekat mereka. Aku juga akan mengetahui karakter
setiap siswa binaanku. Banyak curhatan dari mereka yang membuat aku tersenyum
bahkan ada juga yang mendorong aku untuk bertindak meluruskan karakter mereka.
Salah satu siswaku bernama Agung
memintaku untuk duduk bersama. Dia ingin konsultasi katanya. Jadilah kami duduk
di bis yang kursinya dua. Kami ngobrol ngaler ngidul, tiba-tiba dia berkata,
“Bu saya harus melanjutkan sekolah.” Bagus itu jawabku.
“Tapi saya juga
ingin jadi polisi” lanjutnya. “Ya dua-duanya ada kemungkinan bisa tercapai
cita-citamu itu Gung, Yakin saja Allah pasti mengabulkan keinginanmu”,
timpalku. Sebenarnya aku sendiri juga tidak yakin dia bisa melanjutkan kuliah
atau bisa menjadi polisi, bayar SPP saja menggunakan fasilitas BSM (Bantuan
Siswa Miskin). Tapi Allah maha pengasih kepada hambanya. Aku beri dia motivasi
dan dorongan agar bisa meraih cita-citanya.
Sepanjang perjalanan PKL itu sangat
menyenangkan. Kami bercanda bernyanyi dan tentu tetap koordinasi dengan
rombongan di bis lain. Di hari pertama kegiatan di Museum Geologi Bandung,
lanjut ke Yogyakarta dengan kegiatan-kegiatan yang telah direncanakan
sebelumnya. Transit di sebuah Hotel untuk beristirahat dan mempersiapkan
perjalanan hari berikutnya. Kegiatan berjalan lancar walau ada beberapa siswa
sakit karena mabok perjalanan.
Di hari terakhir agenda kami kunjungan ke UGM. Siswa-siswa dibagi 3
kelompok besar, sesuai dengan jurusannya IPA, IPS, dan Bahasa. Nah karena aku
ngajar Bahasa Inggris maka aku ikut kelompok jurusan bahasa. Kegiatan di UGM
ini berjalan sesuai rencana, selanjutnya kunjungan terakhir ke candi Borobudur
terus pulang.
Ketika kembali ke bis 5, dan bis mulai berjalan tiba-tiba si Agung
bertanya, “Bu benar gak kita langsung pulang setelah dari Candi Borobudur? Ke
hotel lagi gak Bu?” katanya sambil kelihatan hawatir. “Iya, kita sekarang ke
Candi Borobudur terus nanti sore langsung pulang. Jadi nanti malam kita tidur
di perjalanan dan besok pagi sampai di sekolah kita, Nak”, kataku.
Dengan wajah kesal dan sedikit marah, dia menghiba, “Bisa gak bu saya
kembali lagi ke hotel karena ada barang yang ketinggalan di sana. Terus
barangnya bukan milik saya.”
“Barang apa yang ketinggalan?” kataku ingin tahu.
“Tas di kamar hotel dan kamera bersama foto-foto yang sedang dicetak di
warung percetakan dekat hotel”, jawabnya memelas.
Aku koordinasi dengan panitia lain mengatasi masalah ini. Saran dari
teman-teman bahwa perjalanan tetap dilanjutkan. Seorang guru malah ada yang
marah, Ketika aku usul untuk mengambil barang yang ketinggalan dan menyusul ke
Candi Borobudur sendiri. Kata-katanya cukup pedas, “Ngapain bu Hasanah ngurusin
satu anak tapi akan mengorbankan puluhan anak-anak lainnya.” Akhirnya ada ide,
aku menghubungi seorang teman yang asli orang Yogya. Aku minta bantuan teman
untuk bisa mengambilkan barang-barang yang ketinggalan itu di hotel.
Temanku mau membantu dan beliau pergi ke hotel. Petugas hotel memeriksa
kamar yang telah ditempati Agung. Tapi tak ada barang yang ketinggalan.
Kemudian beliau pergi ke toko tempat mencetak foto. Di sini hanya foto-foto
cetakan yang belum diambil dan juga belum dibayar lunas biayanya. Tapi
kameranya juga tidak ada. Beliau menyusul aku ke Candi Borobudur hanya membawa
foto-foto hasil cetakannya saja.
Aku memanggil Agung dan mengklarifikasi barang-barang yang tertinggal
itu. Dia tetap mengaku barangnya tertinggal. Kemudian aku pertemukan dengan
temanku yang telah aku suruh ke hotel. Aku hubungi lagi pihak hotel agar Agung
bisa menunjukkan di mana ketinggalan barangnya. Agung terdiam lama dan tidak
mau ketika disuruh berbicara dengan pihak hotel. Hatiku mulai jengkel, aku
mulai curiga Agung telah berbohong. Di depan temanku akhirnya aku meminta maaf
dan membereskan masalah dengan hati nurani seorang ibu.
Selesaikah masalah Agung? “Tidak”, bisikku. Agung harus memiliki sikap
yang jujur. Masa iya seorang siswa berani membohongi gurunya. Pikirku dengan
guru saja berani berbohong apalagi ke teman atau orang lain. Aku harus bertindak.
Aku mencari tahu sikap suka berbohong Agung ke teman-temannya. Ternyata sikap
berbohongnya dia sudah terkenal di mata teman-temannya. Sampai dia berani
berbohong bahwa dia dari keluarga miskin dan meminta BSM (Bantuan Siswa
Miskin). Sekolah juga dibohongi, padahal orangtuanya dari keluarga yang mampu
dan tidak berhak menerima BSM. Marahku memuncak, aku memanggil Agung. Aku
perlakukan dia seperti seorang maling. Dia harus menjadi orang jujur, pikirku.
Di perjalanan pulang, Agung dengan mata berkaca menghiba dan meminta maaf
atas kelakuannya itu. Aku bukan tidak mau memaafkannya, tapi naluriku sebagai
guru berkata bahwa dia harus berubah. Dia harus jujur. Bagaimana caranya aku
mendidik dia agar dia jujur sampai kapanpun. Perjalanan PKL berakhir tapi PR-ku
belum selesai.
Sekolah seperti hari-hari biasa berjalan kembali setelah pelaksanaan PKL
itu. Agung sudah dua kali menemuiku untuk meminta maaf. Dan ini yang ketiga
kalinya dia datang. Melihat kesungguhannya untuk berubah dan berjanji tidak
akan berbohong lagi aku mulai lega. Dia bersimpuh menandakan dia betul-betul
menyesal. Satu kalimat yang aku katakan dan menyuruh dia untuk menuliskannya di
kertas kosong.
Ibu
memaafkanmu Nak dengan satu syarat kamu berjanji kepada dirimu sendiri untuk
tidak berbohong lagi kepada siapapun dan kapanpun.
Aku berdoa mudah-mudahan Agung betul-betul berubah dan tidak akan
berbohong lagi sampai kapanpun. Rasanya gagal aku menjadi guru kalau tidak bisa
merubah sikap Agung.
Tahun berlalu hari berganti sampai suatu hari di ruang guru ada yang
mencari. Bu Deti-seorang guru baru- teman mengajarku memanggil, katanya ada
seorang berseragam polisi yang mencari ibu. Berdetak jantungku ada apa
gerangan, aku dicari seseorang berseragam polisi. Merasa tidak pernah memiliki
salah dan berurusan dengan polisi, aku menghampiri tamu itu. Ternyata ada Agung
yang sekarang sudah menjadi polisi dan sebentar lagi akan menyelesaikan
pendidikannya di Magelang. Dia datang sengaja mencariku hanya untuk
berterimakasih dan meminta doa agar dimudahkan dalam ujian akhir pendidikannya
di Magelang.
“Ucapan ibu selalu terngiang, saya tidak berani lagi berbohong bu. Mulut
ibu ketika memarahi saya membekas di hati. Saya sangat menyesal dan kalau ibu
tidak memaafkan saya waktu itu mungkin saya tidak seperti sekarang ini”
curhatnya. Sekarang saya sengaja datang menemui ibu ke sini karena saya yakin
mulut ibu bertuah. Doakan saya bu, kata Agung sambil merebut tanganku. Dia
mencium tanganku dan menggenggamnya lama sambil seolah memaksaku untuk
mendoakannya.
Ibu terimakasih telah mendidikku. Pukulan bertubi-tubi dalam latihan
polisi tidak sekeras tangan lembut ibu waktu memukulku di Candi Borobudur.
Bentakan kata-kata pelatihku tidak setajam mulut ibu waktu memarahiku di
perjalanan pulang dari PKL itu. Pungkas Agung sambil pamit pulang.