Selasa, 13 April 2021

Memoarku

#AISEI April Challenge

#13 April 2021 

KARTINI

ehasanah675@gmail.com

 

Semangat yang diwariskan seorang perempuan bernama RA Kartini adalah salah satu contoh dari keteguhan menggapai impian. Setiap perempuan pasti memiliki impian masing-masing. Tidak berbeda juga dengan aku, mempunyai keteguhan yang sama,dalam mengeluti bidang yang aku pilih dan terus berjuang mewujudkannya. Semangat, inspirasi, dan spirit RA Kartini untuk mengenyam Pendidikan juga berkecamuk di dadaku. Sebagai ungkapan hal-hal yang dialami aku curahkan dalam cerita di bawah ini.

 

AKU DAN BANGKU SEKOLAH

E. Hasanah

P

erkenalkan, namaku E. Hasanah. Orang memanggilku ibu Hasanah. Dan di sana berdiri sebuah benda yang menantang dalam bisu dan diam. Penampilan benda itu sederhana bahkan nampak tak ada yang istimewa. Ketika seseorang mencoba mendudukinya, benda berkaki empat itu tak bereaksi. Namun tantangan yang ditawarkannya membuat siapapun yang bisa menaklukkan seakan mendapatkan kunci kesuksesan hidupnya.

Ya, benda berkaki empat itu bernama bangku sekolah, bangku madrasah, atau bangku kuliah. Sebuah benda yang bisa mengantarkan seseorang meraih cita-cita untuk masa depannya.

Sejak usia dini, aku sudah berkhayal bisa menduduki bangku itu setinggi yang aku bisa. Sama seperti sosok idolaku, seorang guru yang namanya bertambah dengan gelar tanda kesuksesan menaklukkan bangku sekolahnya.

Menginjak usia 6 tahun, menduduki bangku sekolah dasar telah menjadi keinginanku. Tidak ada Taman Kanak-kanak atau PAUD waktu itu. Walaupun awalnya tanpa sepengetahuan dan ijin orang tua, aku ikut-ikutan masuk sekolah. Karena dianggap belum layak dan belum cukup umur untuk menduduki bangku sekolah dasar. Selain jarak dari rumah ke SD terdekat sekitar 4 Km dan harus berjalan kaki. Ayahku menitipkan aku hanya untuk bisa duduk di bangku madrasah diniyah yang waktu pembelajarannya siang hari setelah zuhur sampai waktu ashar tiba. Ini juga karena letak madrasah itu dekat dengan rumah kami.

Aku ingat betul lulus sekolah dasar pada juli 1980. Mulai tahun 1974 Aku habiskan belajar di sekolah dasar negeri di Bojonggenteng (SDN Bojonggenteng) kurang lebih 6 tahun. Kenapa aku katakan kurang lebih? Karena di saat kelas 5, waktu kenaikan kelas diperpanjang 6 bulan, jadi satu tahun pelajaran durasinya satu setengah tahun. Dari menggunakan catur wulan yang terdiri 3 catur wulan dalam satu tahun pelajaran menjadi sistem semester.

Awal menduduki bangku SD itu, aku ikut-ikutan teman sepermainan yang usianya lebih tua. Pagi-pagi berangkat ke sekolah tanpa baju seragam. Satu dua hari aku ikut duduk di bangku kelas satu. Tiba pada hari ke-tiga seorang guru, mengabsen dan memanggil aku. Masih terngiang bu guru bilang, kalau ingin sekolah lagi besok harus diantar ibu atau bapakmu ya, katanya. Ketika pulang ke rumah, aku sampaikan pada ibuku bahwa besok boleh ikut sekolah lagi dengan syarat diantar dulu oleh ibu.  Ibuku hanya terdiam. Malamnya setelah belajar alif batasa, aku bilang lagi kepada ayahku bahwa besok ingin sekolah dan minta diantarkan. Ayahku berujar, kamu belum waktunya masuk sekolah, umurnya masih kurang, ikut jadi anak bawang saja katanya.

Pagi-pagi aku berangkat lagi ke sekolah, kali ini bapak guru yang memanggil. Mana bapakmu nak, katanya. Aku ketakutan, aku manangis dan akhirnya aku pulang ke rumah nenekku yang jaraknya tidak jauh dari sekolah. Dengan lembutnya nenek membelai rambutku. Sambil memberikan segelas air minum, Emak (panggilan aku kepada nenek) menenangkanku. Besok mandi yang bersih dan pakai baju yang paling bagus ya, bisiknya. Emak akan daftarkan kamu ke bapak guru. Sekarang sesudah makan nanti pulang ya, hawatir ibumu mencari-cari kamu, tambahnya.

Seperti pagi kemarin, aku sudah menunggu teman yang akan berangkat sekolah. Aku ikut bergabung dengan mereka, berjalan kaki tanpa alas kaki sekitar 4 km ke sekolah.  Ketika tiba di sekolah, nenek sudah menunggu aku. Benar saja nenekku menepati janjinya dan mendaftarkan aku untuk bisa duduk di bangku kelas satu. Waktu itu pembelajaran sudah berjalan di tengah-tengah tahun. Aku bangga diberi tempat duduk di bangku paling depan. Ibu guru rasanya begitu baik kepadaku sekarang, pikirku. Entah apa yang dikatakan Emak kepadanya.

Hari-hari di masa kanak-kanakku dilewati dengan penuh kegembiraan. Tanpa beban dan bebas bermain dengan teman-teman di lingkungan rumahku. Dari bangun pagi Aku bergiat, bersiap-siap pergi sekolah sekitar pukul 6.00 WIB, dan belajar di bangku sekolah SD sampai waktu zuhur tiba. Pulang dari SD makan langsung belajar lagi di bangku madrasah diniyah sampai waktu ashar. Main sebentar dengan teman, kemudian selesai salat magrib harus mengaji bersama di rumah seorang guru ngaji. Begitu terus kegiatanku setiap hari. Sering aku sakit-sakitan. Ayahku bilang aku kecapean. Tapi tak ada keluh yang keluar dari mulutku karena aku takut ayahku memberhentikan sekolahku. Pernah suatu hari aku sakit agak parah di kelas, ibu guruku memapah dan menyuruh aku istirahat di kamar rumahnya. Kebetulan rumahnya berlokasi di belakang gedung sekolah. Sore hari Emakku menjemput dan menggendongku pulang. Masih terngiang Emakku bilang, jangan sekolah kalau merasa sakit karena akan merepotkan semua termasuk ibu guru, ujarnya. Emak sangat menyayangiku, karena beliau hanya memiliki satu anak perempuan yakni ibuku. Sedangkan ibuku melahirkan sampai 15 anak, tapi sayangnya hanya 4 orang yang berumur panjang. Aku anak ke-11 dari urutan lahirnya, dan menjadi anak ke-3 dari 4 bersaudara dari anak orangtuaku yang hidup. Aku merupakan anak perempuan satu-satunya dan juga cucu perempuan dari nenekku. Otomatis keluargaku sangat memanjakan dan menyayangiku. Suka duka menghabiskan masa kecil di bangku sekolah dasar sangat berkesan bagiku.

J

uli 1980, setelah menyelesaikan sekolah dasar dan dinyatakan lulus melewati bangku sekolah dasar, aku mendaftarkan diri ke sebuah madrasah Tsanawiyah yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah. Berangkat dengan teman sepermainan tanpa diantar orangtua. Seorang guru yang menerima pendaftaran siswa baru berujar,

“menitipkan ayam saja kita harus permisi dan minta ijin. Ini menitipkan anak kok orang tuanya tidak mau datang”.

Hatiku sedih mendengar kalimat yang diucapkan guru itu. Aku mengadu ke Ayahku dan menirukan ucapan guru itu. Ayah hanya menimpali, “Iya, nanti Bapak titipkan kepada guru itu kalau ketemu di mesjid.” Ayahku seorang yang taat beribadah dan tiap hari tanpa absen pergi ke masjid terutama waktu ashar, magrib, isya, dan subuh. Kecuali salat zuhur ayahku jarang berjamaah di masjid karena biasanya salat di tempat dekat sawah atau kebun. Pekerjaan ayah sehari-hari sebagai petani dan menggarap sendiri tanahnya. Beliau berpendidikan hanya sampai kelas 2 SR (Sekolah Rakyat). Wajar dengan sikap dan pandangan terhadap bangku sekolah anaknya seperti itu. Tapi untuk bayar biaya bangku sekolah, pasti ayah tidak akan kompromi, berapapun pasti sangat dipentingkan walaupun sampai harus menjual beras untuk makanku. Hanya mengandalkan hasil tanaman yang dikerjakan dengan tenaganya sendiri. Beliau berpendapat membayar pendidikan anak adalah shodakoh dan infaq yang menjadi investasi akhiratnya. Namun kadang tenaganya tidak mencukupi untuk membiayai keempat anaknya. Aku banyak dibantu oleh Emakku. Bangku madrasah Tsanawiyah ku lewati juga dengan mudah.

Keinginan untuk menduduki bangku sekolah menggodaku. Selepas bangku madrasah Tsanawiyah, aku merayu ayahku agar diberi ijin untuk melanjutkan ke SLTA. Ayahku hanya terdiam dan membiarkan aku mendaftarkan diri ke sebuah SMA Negeri yang letaknya jauh dari rumahku. Aku harus dua atau tiga kali naik angkutan umum untuk sampai ke sekolah tersebut. Dengan modal keinginan dan tekad kuat, tercapai juga aku bisa mendaftarkan diri menduduki bangku sekolah. Masalah muncul, ongkos kendaraan umum harus ada tiap hari. Sedangkan ayahku tidak punya penghasilan, selain hasil berupa buah-buahan yang beliau tanam sendiri. Itupun 3 atau 4 bulan baru bisa ditukar uang. Allah maha kuasa, selalu ada jalan bagi yang mau berusaha. Selain aku diterima di sebuah SMA Negeri yang bayarannya relatif lebih murah dibanding beberapa sekolah sederajat lainnya. Aku juga dititipkan kepada teman ayahku di sebuah pondok pesantren yang lokasinya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Untuk bekal sehari-hari aku dibantu juga oleh Emakku. Suka duka menduduki bangku sekolah di SMA Negeri ini benar-benar menempa diriku. Kekurangan ekonomi untuk membiayai bangku sekolah ini sangat terasa. Kesabaran untuk menaklukkan bangku sekolah sangat mengharu biru, tapi pantang aku mengeluh dan berkisah sedih kepada ayahku. Karena satu ketakutanku, aku takut disuruh meninggalkan bangku sekolah.

Godaan datang di saat aku duduk di bangku kelas dua. Emakku berkata ada seseorang yang datang dan meminta agar aku mau menjadi istrinya. Sebagai jawabannya, hanya air mata yang mengalir deras dan aku tidak pulang ke rumah Emak.

Dengan kesabaran aku selesaikan juga bangku sekolah SMA ini. Berbagai cerita suka duka terekam dalam memori kenanganku. Sebelum ijazah aku pegang sebagai tanda telah tamat SMA, beberapa teman ramai membicarakan SIPENMARU, yakni Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru. Bagiku sendiri hanya bisa menelan ludah, jangan kan untuk bisa duduk di bangku kuliah, bisa menyelesaikan bangku SMA saja sudah Alhamdulillah.

Where there’s a will there’s a way

Proverbs atau pribahasa “Where there’s a will there’s a way” (Di mana ada kemauan di sana ada jalan) rasanya sangat mengena dengan keadaanku saat itu. Aku bertemu dengan kepala madrasah MTs tempat asal aku bersekolah. Beliau menanyaiku apakah yang akan aku lakukan setelah tamat SMA. Aku hanya tertunduk tanpa menjawab. Rupanya beliau cukup memahami keadaanku. Ketika ayahku pulang dari masjid setelah salat isya, ayahku memanggil. Kata ayah, “Kamu bicara dengan Pak Haji Syarif ya? Kamu bicara apa? Bilang ingin melanjutkan sekolah?” dan pertanyaan-pertanyaan lain. Seperti biasa jawabanku hanya isakan tangis. Aku tidak berani menatap ayahku. Beliau melanjutkan, “Bapak mengerti kamu mau kuliah tapi apa daya, mengertilah kamu.” Beberapa hari kemudian, pak Syarif datang berkunjung malam hari. Mereka ngobrol ngaler ngidul dari mulai membicarakan bebek sampai sawah yang akan segera ditanam. Tiba-tiba beliau membicarakanku. Yang aku dengar beliau menyarankan ayahku untuk mau membiayaiku menduduki bangku kuliah. Jelas terdengar di telingaku,

“Kang … tidak akan rugi kalau untuk biaya sekolah. Anakmu pasti jujur sekolahnya.” “Mungkin kalau hanya biaya masuk bisa diusahakan, tapi untuk biaya hariannya dari mana.” Jawab ayahku.

“Percayalah pasti nanti ada jalannya, asal ada usaha.” timpal pak Syarif.

Hari perpisahan kelas 3 SMA tiba, teman-teman ceria karena mereka sudah memiliki pegangan melanjutkan ke perguruan tinggi pilihannya masing-masing. Sementara aku sangat bersedih dalam kegembiraan mereka. Hanya doa yang aku panjatkan kepada sang Khalik, Ya Allah berikan aku kesempatan agar bisa duduk di bangku kuliah seperti mereka dengan segala keajaiban dan Rahman Rahim-MU. Aku yakin tidak ada yang mustahil dan itu sangat mudah bagi-MU, bisikku.

Malam setelah pulang mengaji, aku beranikan diri minta ijin ke ayahku untuk ikut ke Jakarta bersama adik Emakku. Aku berniat bisa bekerja apa saja di Jakarta. Ayahku hanya terdiam. Emakku juga terlihat hawatir ketika aku utarakan niatku. Nasihatnya, “Sekarang kamu bilang saja sama bapakmu agar bisa daftar kuliah, nanti untuk bekalnya Emak akan bantu”. Merasa mendapat angin segar, aku temui lagi ayahku. Aku katakan seperti saran Emak. Akhirnya ayahku menjual sepetak tanah sawahnya agar aku bisa masuk dan duduk di bangku kuliah. Sedih dan bahagia bercampur.

B

angku kuliah sebuah perguruan tinggi swasta di Bogor akhirnya bisa ku duduki. Aku mengambil program studi Bahasa Inggris Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Aku tetap ingin mewujudkan mimpi untuk menjadi guru.

Akhirnya takdir muallaq tercapai juga aku duduk di bangku kuliah. Aku jalani dan ikuti sebaik mungkin pembelajarannya. Untuk kebutuhan sehari-hari, Emakku banyak membantu. Namun takdir mubram sebagai ketentuan Allah yang mutlak dan tidak bisa diubah juga menghampiriku. Jodohku datang disaat bangku kuliah itu berada di tingkat 2. Calon suamiku adalah teman kuliah satu fakultas beda prodi. Awal perkenalan di kampus saat ada suatu kegiatan mahasiswa yang melibatkan tiga prodi dalam satu fakultas. Perkenalan biasa sebagai sesama mahasiswa, Dia sebagai panitia dan aku hanya peserta utusan dari prodiku. Hanya ada kemiripan dari berbagai hal, mulai dari namanya yang hampir sama, Hasan – Hasanah, sampai tanggal lahir yang hanya pautan satu minggu. Dan yang paling membuatku mati langkah adalah kakeknya dengan kakekku adalah bersahabat. Sehingga ketika dia main ke rumah sebagai teman biasa (bukan pacar ya), eh kakek-kakek tuh malah menjodohkan kami.

Aku katakan mati langkah karena kami tidak bisa menolak “keinginan” kakek kami. Mereka menjodohkan kami padahal bangku kuliah masih jauh harus diselesaikan. Akhirnya kami nikah gantung (Menikah secara resmi di KUA tapi kami tidak bersatu dan masih tetap berstatus mahasiswa dan menjalani kehidupan seperti layaknya mahasiswa lain. Kami pacaran setelah ada ikatan pernikahan).

Tahun 1992, dengan susah payah dan suka duka romantika kehidupan yang kami lewati bersama, akhirnya bangku kuliah ini kami akhiri dengan ditandai acara wisuda. Sangat terasa perjuangan untuk menaklukkan bangku kuliah ini begitu berat karena aku harus berperan dalam keluarga, kuliah, dan bekerja. Namun pahitnya menaklukkan bangku kuliah ini Allah memberikan ganjaran dengan memudahkan aku mengikuti tes padahal ijazah belum ditangan, hanya berbekal surat keterangan lulus. Setelah menyelesaikan berbagai persyaratan, aku diangkat sebagai CPNS. Sujud syukur aku atas pencapaian ini.

S

ukabumi… Sukabumi… Sukabumi … Suara kondektur membuyarkan lamunanku. Entah berapa lama aku termangu dan asyik menikmati alur cerita dari kisah hidupku. Begitu cepat waktu berlalu padahal masih banyak yang belum aku tuntaskan tapi usia bertambah lebih cepat.

Sekarang aku sedang duduk di kursi paling depan di belakang sopir. Sambil menikmati perjalanan, aku perhatikan kondektur yang masih menawarkan jasa untuk naik ke bisnya. Kursi bis masih belum terisi penuh ketika keluar dari terminal Leuwi Panjang Bandung ini. Sesekali ada orang yang naik atau turun dari bis yang aku tumpangi. Mereka memberhentikan bis di tengah perjalanan.
Tiba-tiba seorang ibu yang memakai bluse polos dan rok panjang berwarna coklat tua naik. Kerudungnya motif bunga., serasi dengan bajunya. Dari cara berpakaian, nampaknya dia seorang guru atau pegawai pemerintah yang gaya berpakaiannya rapih. Maaf bu kursinya sudah ada yang menempati, tanyanya. Refleks dudukku bergeser. Silahkan bu masih kosong, jawabku singkat. 
Tanpa disadari percakapanpun mengalir. Dari mulai bertanya turun di mana dan tinggal di mana sampai obrolan ngaler ngidul. Waktu 3 jam lebih perjalanan Bandung – Sukabumi tidak terasa lama. Yang paling menarik dari tema yang kami obrolkan tentu masalah pendidikan karena beliau juga seorang guru. Ternyata beliau adalah asli orang Bandung yang diberi tugas mengajar di sebuah SMA di daerah Sukabumi. Sekarang beliau tinggal dan mengontrak rumah di sekitar sekolah tempat mengajarnya. Pertanyaan dan jawaban mengalir begitu saja dan terus susul menyusul sampai kami saling bercerita tentang bangku sekolah yang kami lewati.

Saya habis *pulang* menengok orang tua, dan minta doanya agar bisa masuk kuliah lagi, ujarnya. Ibu sendiri mau ke mana, tanyanya.

“Tadi saya dari kampus bu, ada ujian komprehensif. Saya berangkat ke Bandung-nya kemarin. Menemui dosen minta tanda tangan untuk proposal disertasi. Alhamdulillah semester ini tinggal melakukan penelitiannya.” Kataku menjelaskan.

Bis segera tiba di terminal Sukabumi, kami saling berpamitan. Si ibu turun di Sukaraja sementara aku ditunggu suami di pintu gerbang terminal. Sambil menarik napas panjang, Alhamdulillah tiba juga diterminal Sukabumi. Tapi perjuanganku menaklukkan bangku sekolah belum usai.

Satu langkah lagi tantangan yang aku taklukkan bernama bangku sekolah ini, yakni bangku kuliah di ruang Pascasarjana S3 Ilmu Pendidikan salah satu Universitas terkenal di Bandung ini. Aku yakin bisa, bisa, dan bisa, walaupun usia sudah menua.

 

2 komentar:

  1. Numpang promo ya Admin^^
    ajoqq^^cc
    mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
    mari segera bergabung dengan kami... (k)
    di ajopk.com ^_~
    segera di add Whatshapp : +855969190856

    BalasHapus
  2. Keren bu Hasanah critanyaaaaa, mantappppp

    BalasHapus

KSP

Kurikulum Satuan Pendidikan  Mengawali tahun pelajaran 2024-2025 pada hari Senin, 15 Juli 2024 semua madrasah melaksanakan Matsama (Masa ta&...