#AISEI April Challenge
#13 April 2021
KARTINI
Semangat yang
diwariskan seorang perempuan bernama RA Kartini adalah salah satu contoh dari
keteguhan menggapai impian. Setiap perempuan pasti memiliki impian masing-masing.
Tidak berbeda juga dengan aku, mempunyai keteguhan yang sama,dalam mengeluti
bidang yang aku pilih dan terus berjuang mewujudkannya. Semangat, inspirasi,
dan spirit RA Kartini untuk mengenyam Pendidikan juga berkecamuk di dadaku.
Sebagai ungkapan hal-hal yang dialami aku curahkan dalam cerita di bawah ini.
AKU
DAN BANGKU SEKOLAH
E. Hasanah
P |
erkenalkan, namaku E. Hasanah. Orang
memanggilku ibu Hasanah. Dan di sana berdiri sebuah benda yang menantang dalam
bisu dan diam. Penampilan benda itu sederhana bahkan nampak tak ada yang
istimewa. Ketika seseorang mencoba mendudukinya, benda berkaki empat itu tak
bereaksi. Namun tantangan yang ditawarkannya membuat siapapun yang bisa
menaklukkan seakan mendapatkan kunci kesuksesan hidupnya.
Ya, benda berkaki empat itu bernama
bangku sekolah, bangku madrasah, atau bangku kuliah. Sebuah benda yang bisa
mengantarkan seseorang meraih cita-cita untuk masa depannya.
Sejak usia dini, aku sudah berkhayal
bisa menduduki bangku itu setinggi yang aku bisa. Sama seperti sosok idolaku,
seorang guru yang namanya bertambah dengan gelar tanda kesuksesan menaklukkan
bangku sekolahnya.
Menginjak usia 6 tahun, menduduki bangku
sekolah dasar telah menjadi keinginanku. Tidak ada Taman Kanak-kanak atau PAUD
waktu itu. Walaupun awalnya tanpa sepengetahuan dan ijin orang tua, aku ikut-ikutan
masuk sekolah. Karena dianggap belum layak dan belum cukup umur untuk menduduki
bangku sekolah dasar. Selain jarak dari rumah ke SD terdekat sekitar 4 Km dan
harus berjalan kaki. Ayahku menitipkan aku hanya untuk bisa duduk di bangku
madrasah diniyah yang waktu pembelajarannya siang hari setelah zuhur sampai
waktu ashar tiba. Ini juga karena letak madrasah itu dekat dengan rumah kami.
Aku ingat
betul lulus sekolah dasar pada juli 1980. Mulai tahun 1974 Aku habiskan belajar
di sekolah dasar negeri di Bojonggenteng (SDN Bojonggenteng) kurang lebih 6
tahun. Kenapa aku katakan kurang lebih? Karena di saat kelas 5, waktu kenaikan
kelas diperpanjang 6 bulan, jadi satu tahun pelajaran durasinya satu setengah
tahun. Dari menggunakan catur wulan yang terdiri 3 catur wulan dalam satu tahun
pelajaran menjadi sistem semester.
Awal
menduduki bangku SD itu, aku ikut-ikutan teman sepermainan yang usianya lebih
tua. Pagi-pagi berangkat ke sekolah tanpa baju seragam. Satu dua hari aku ikut
duduk di bangku kelas satu. Tiba pada hari ke-tiga seorang guru, mengabsen dan
memanggil aku. Masih terngiang bu guru bilang, kalau ingin sekolah lagi besok
harus diantar ibu atau bapakmu ya, katanya. Ketika pulang ke rumah, aku
sampaikan pada ibuku bahwa besok boleh ikut sekolah lagi dengan syarat diantar
dulu oleh ibu. Ibuku hanya terdiam. Malamnya setelah belajar alif batasa,
aku bilang lagi kepada ayahku bahwa besok ingin sekolah dan minta diantarkan.
Ayahku berujar, kamu belum waktunya masuk sekolah, umurnya masih kurang, ikut
jadi anak bawang saja katanya.
Pagi-pagi
aku berangkat lagi ke sekolah, kali ini bapak guru yang memanggil. Mana bapakmu
nak, katanya. Aku ketakutan, aku manangis dan akhirnya aku pulang ke rumah
nenekku yang jaraknya tidak jauh dari sekolah. Dengan lembutnya nenek membelai
rambutku. Sambil memberikan segelas air minum, Emak (panggilan aku kepada
nenek) menenangkanku. Besok mandi yang bersih dan pakai baju yang paling bagus
ya, bisiknya. Emak akan daftarkan kamu ke bapak guru. Sekarang sesudah makan
nanti pulang ya, hawatir ibumu mencari-cari kamu, tambahnya.
Seperti
pagi kemarin, aku sudah menunggu teman yang akan berangkat sekolah. Aku ikut bergabung
dengan mereka, berjalan kaki tanpa alas kaki sekitar 4 km ke sekolah.
Ketika tiba di sekolah, nenek sudah menunggu aku. Benar saja nenekku menepati
janjinya dan mendaftarkan aku untuk bisa duduk di bangku kelas satu. Waktu itu
pembelajaran sudah berjalan di tengah-tengah tahun. Aku bangga diberi tempat
duduk di bangku paling depan. Ibu guru rasanya begitu baik kepadaku sekarang,
pikirku. Entah apa yang dikatakan Emak kepadanya.
Hari-hari di masa kanak-kanakku dilewati
dengan penuh kegembiraan. Tanpa beban dan bebas bermain dengan teman-teman di
lingkungan rumahku. Dari bangun pagi Aku bergiat, bersiap-siap pergi sekolah
sekitar pukul 6.00 WIB, dan belajar di bangku sekolah SD sampai waktu zuhur
tiba. Pulang dari SD makan langsung belajar lagi di bangku madrasah diniyah
sampai waktu ashar. Main sebentar dengan teman, kemudian selesai salat magrib
harus mengaji bersama di rumah seorang guru ngaji. Begitu terus kegiatanku
setiap hari. Sering aku sakit-sakitan. Ayahku bilang aku kecapean. Tapi tak ada
keluh yang keluar dari mulutku karena aku takut ayahku memberhentikan
sekolahku. Pernah suatu hari aku sakit agak parah di kelas, ibu guruku memapah
dan menyuruh aku istirahat di kamar rumahnya. Kebetulan rumahnya berlokasi di
belakang gedung sekolah. Sore hari Emakku menjemput dan menggendongku pulang.
Masih terngiang Emakku bilang, jangan sekolah kalau merasa sakit karena akan
merepotkan semua termasuk ibu guru, ujarnya. Emak sangat menyayangiku, karena
beliau hanya memiliki satu anak perempuan yakni ibuku. Sedangkan ibuku
melahirkan sampai 15 anak, tapi sayangnya hanya 4 orang yang berumur panjang. Aku
anak ke-11 dari urutan lahirnya, dan menjadi anak ke-3 dari 4 bersaudara dari anak
orangtuaku yang hidup. Aku merupakan anak perempuan satu-satunya dan juga cucu
perempuan dari nenekku. Otomatis keluargaku sangat memanjakan dan menyayangiku.
Suka duka menghabiskan masa kecil di bangku sekolah dasar sangat berkesan
bagiku.
J |
uli 1980, setelah menyelesaikan sekolah
dasar dan dinyatakan lulus melewati bangku sekolah dasar, aku mendaftarkan diri
ke sebuah madrasah Tsanawiyah yang berjarak sekitar 500 meter dari rumah.
Berangkat dengan teman sepermainan tanpa diantar orangtua. Seorang guru yang
menerima pendaftaran siswa baru berujar,
“menitipkan ayam saja kita harus permisi
dan minta ijin. Ini menitipkan anak kok orang tuanya tidak mau datang”.
Hatiku sedih mendengar kalimat yang
diucapkan guru itu. Aku mengadu ke Ayahku dan menirukan ucapan guru itu. Ayah
hanya menimpali, “Iya, nanti Bapak titipkan kepada guru itu kalau ketemu di mesjid.”
Ayahku seorang yang taat beribadah dan tiap hari tanpa absen pergi ke masjid
terutama waktu ashar, magrib, isya, dan subuh. Kecuali salat zuhur ayahku jarang
berjamaah di masjid karena biasanya salat di tempat dekat sawah atau kebun. Pekerjaan
ayah sehari-hari sebagai petani dan menggarap sendiri tanahnya. Beliau
berpendidikan hanya sampai kelas 2 SR (Sekolah Rakyat). Wajar dengan sikap dan
pandangan terhadap bangku sekolah anaknya seperti itu. Tapi untuk bayar biaya
bangku sekolah, pasti ayah tidak akan kompromi, berapapun pasti sangat dipentingkan
walaupun sampai harus menjual beras untuk makanku. Hanya mengandalkan hasil
tanaman yang dikerjakan dengan tenaganya sendiri. Beliau berpendapat membayar
pendidikan anak adalah shodakoh dan infaq yang menjadi investasi akhiratnya. Namun
kadang tenaganya tidak mencukupi untuk membiayai keempat anaknya. Aku banyak
dibantu oleh Emakku. Bangku madrasah Tsanawiyah ku lewati juga dengan mudah.
Keinginan untuk menduduki bangku sekolah
menggodaku. Selepas bangku madrasah Tsanawiyah, aku merayu ayahku agar diberi
ijin untuk melanjutkan ke SLTA. Ayahku hanya terdiam dan membiarkan aku
mendaftarkan diri ke sebuah SMA Negeri yang letaknya jauh dari rumahku. Aku
harus dua atau tiga kali naik angkutan umum untuk sampai ke sekolah tersebut.
Dengan modal keinginan dan tekad kuat, tercapai juga aku bisa mendaftarkan diri
menduduki bangku sekolah. Masalah muncul, ongkos kendaraan umum harus ada tiap
hari. Sedangkan ayahku tidak punya penghasilan, selain hasil berupa buah-buahan
yang beliau tanam sendiri. Itupun 3 atau 4 bulan baru bisa ditukar uang. Allah
maha kuasa, selalu ada jalan bagi yang mau berusaha. Selain aku diterima di
sebuah SMA Negeri yang bayarannya relatif lebih murah dibanding beberapa
sekolah sederajat lainnya. Aku juga dititipkan kepada teman ayahku di sebuah
pondok pesantren yang lokasinya bisa ditempuh dengan jalan kaki. Untuk bekal
sehari-hari aku dibantu juga oleh Emakku. Suka duka menduduki bangku sekolah di
SMA Negeri ini benar-benar menempa diriku. Kekurangan ekonomi untuk membiayai
bangku sekolah ini sangat terasa. Kesabaran untuk menaklukkan bangku sekolah
sangat mengharu biru, tapi pantang aku mengeluh dan berkisah sedih kepada
ayahku. Karena satu ketakutanku, aku takut disuruh meninggalkan bangku sekolah.
Godaan datang di saat aku duduk di
bangku kelas dua. Emakku berkata ada seseorang yang datang dan meminta agar aku
mau menjadi istrinya. Sebagai jawabannya, hanya air mata yang mengalir deras
dan aku tidak pulang ke rumah Emak.
Dengan
kesabaran aku selesaikan juga bangku sekolah SMA ini. Berbagai cerita suka duka
terekam dalam memori kenanganku. Sebelum ijazah aku pegang sebagai tanda telah
tamat SMA, beberapa teman ramai membicarakan SIPENMARU, yakni Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru. Bagiku sendiri hanya bisa menelan ludah, jangan kan
untuk bisa duduk di bangku kuliah, bisa menyelesaikan bangku SMA saja sudah
Alhamdulillah.
Where there’s a will there’s a way
Proverbs atau pribahasa “Where there’s a will there’s a way” (Di mana ada kemauan di sana
ada jalan) rasanya sangat mengena dengan keadaanku saat itu. Aku bertemu dengan
kepala madrasah MTs tempat asal aku bersekolah. Beliau menanyaiku apakah yang
akan aku lakukan setelah tamat SMA. Aku hanya tertunduk tanpa menjawab. Rupanya
beliau cukup memahami keadaanku. Ketika ayahku pulang dari masjid setelah salat
isya, ayahku memanggil. Kata ayah, “Kamu bicara dengan Pak Haji Syarif ya? Kamu
bicara apa? Bilang ingin melanjutkan sekolah?” dan pertanyaan-pertanyaan lain.
Seperti biasa jawabanku hanya isakan tangis. Aku tidak berani menatap ayahku.
Beliau melanjutkan, “Bapak mengerti kamu mau kuliah tapi apa daya, mengertilah
kamu.” Beberapa hari kemudian, pak Syarif datang berkunjung malam hari. Mereka
ngobrol ngaler ngidul dari mulai membicarakan bebek sampai sawah yang akan
segera ditanam. Tiba-tiba beliau membicarakanku. Yang aku dengar beliau
menyarankan ayahku untuk mau membiayaiku menduduki bangku kuliah. Jelas
terdengar di telingaku,
“Kang … tidak akan rugi kalau untuk biaya
sekolah. Anakmu pasti jujur sekolahnya.” “Mungkin kalau hanya biaya masuk bisa
diusahakan, tapi untuk biaya hariannya dari mana.” Jawab ayahku.
“Percayalah pasti nanti ada jalannya, asal ada
usaha.” timpal pak Syarif.
Hari perpisahan kelas 3 SMA tiba, teman-teman
ceria karena mereka sudah memiliki pegangan melanjutkan ke perguruan tinggi pilihannya
masing-masing. Sementara aku sangat bersedih dalam kegembiraan mereka. Hanya
doa yang aku panjatkan kepada sang Khalik, Ya Allah berikan aku kesempatan agar
bisa duduk di bangku kuliah seperti mereka dengan segala keajaiban dan Rahman
Rahim-MU. Aku yakin tidak ada yang mustahil dan itu sangat mudah bagi-MU,
bisikku.
Malam setelah pulang mengaji, aku beranikan
diri minta ijin ke ayahku untuk ikut ke Jakarta bersama adik Emakku. Aku
berniat bisa bekerja apa saja di Jakarta. Ayahku hanya terdiam. Emakku juga
terlihat hawatir ketika aku utarakan niatku. Nasihatnya, “Sekarang kamu bilang
saja sama bapakmu agar bisa daftar kuliah, nanti untuk bekalnya Emak akan
bantu”. Merasa mendapat angin segar, aku temui lagi ayahku. Aku katakan seperti
saran Emak. Akhirnya ayahku menjual sepetak tanah sawahnya agar aku bisa masuk
dan duduk di bangku kuliah. Sedih dan bahagia bercampur.
B |
angku kuliah sebuah perguruan tinggi swasta di
Bogor akhirnya bisa ku duduki. Aku mengambil program studi Bahasa Inggris Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Aku tetap ingin mewujudkan mimpi untuk menjadi
guru.
Akhirnya takdir muallaq tercapai juga aku duduk
di bangku kuliah. Aku jalani dan ikuti sebaik mungkin pembelajarannya. Untuk
kebutuhan sehari-hari, Emakku banyak membantu. Namun takdir mubram sebagai
ketentuan Allah yang mutlak dan tidak bisa diubah juga menghampiriku. Jodohku
datang disaat bangku kuliah itu berada di tingkat 2. Calon suamiku adalah teman
kuliah satu fakultas beda prodi. Awal perkenalan di kampus saat ada suatu
kegiatan mahasiswa yang melibatkan tiga prodi dalam satu fakultas. Perkenalan
biasa sebagai sesama mahasiswa, Dia sebagai panitia dan aku hanya peserta
utusan dari prodiku. Hanya ada kemiripan dari berbagai hal, mulai dari namanya
yang hampir sama, Hasan – Hasanah, sampai tanggal lahir yang hanya pautan satu
minggu. Dan yang paling membuatku mati langkah adalah kakeknya dengan kakekku
adalah bersahabat. Sehingga ketika dia main ke rumah sebagai teman biasa (bukan
pacar ya), eh kakek-kakek tuh malah menjodohkan kami.
Aku katakan mati langkah karena kami tidak bisa
menolak “keinginan” kakek kami. Mereka menjodohkan kami padahal bangku kuliah
masih jauh harus diselesaikan. Akhirnya kami nikah gantung (Menikah secara
resmi di KUA tapi kami tidak bersatu dan masih tetap berstatus mahasiswa dan
menjalani kehidupan seperti layaknya mahasiswa lain. Kami pacaran setelah ada
ikatan pernikahan).
Tahun 1992, dengan susah payah dan suka duka
romantika kehidupan yang kami lewati bersama, akhirnya bangku kuliah ini kami
akhiri dengan ditandai acara wisuda. Sangat terasa perjuangan untuk menaklukkan
bangku kuliah ini begitu berat karena aku harus berperan dalam keluarga,
kuliah, dan bekerja. Namun pahitnya menaklukkan bangku kuliah ini Allah memberikan
ganjaran dengan memudahkan aku mengikuti tes padahal ijazah belum ditangan,
hanya berbekal surat keterangan lulus. Setelah menyelesaikan berbagai
persyaratan, aku diangkat sebagai CPNS. Sujud syukur aku atas pencapaian ini.
S |
ukabumi… Sukabumi…
Sukabumi … Suara kondektur membuyarkan lamunanku. Entah berapa lama aku
termangu dan asyik menikmati alur cerita dari kisah hidupku. Begitu cepat waktu
berlalu padahal masih banyak yang belum aku tuntaskan tapi usia bertambah lebih
cepat.
Sekarang
aku sedang duduk di kursi paling depan di belakang sopir. Sambil menikmati
perjalanan, aku perhatikan kondektur yang masih menawarkan jasa untuk naik ke
bisnya. Kursi bis masih belum terisi penuh ketika keluar dari
terminal Leuwi Panjang Bandung ini. Sesekali ada orang yang naik atau
turun dari bis yang aku tumpangi. Mereka memberhentikan bis di tengah
perjalanan.
Tiba-tiba seorang ibu yang memakai bluse polos dan
rok panjang berwarna coklat tua naik. Kerudungnya motif bunga., serasi dengan bajunya.
Dari cara berpakaian, nampaknya dia seorang guru atau pegawai pemerintah yang
gaya berpakaiannya rapih. Maaf bu kursinya sudah ada yang menempati, tanyanya.
Refleks dudukku bergeser. Silahkan bu masih kosong, jawabku singkat.
Tanpa disadari percakapanpun mengalir. Dari
mulai bertanya turun di mana dan tinggal di mana sampai obrolan ngaler ngidul.
Waktu 3 jam lebih perjalanan Bandung – Sukabumi tidak terasa lama. Yang paling
menarik dari tema yang kami obrolkan tentu masalah pendidikan karena beliau
juga seorang guru. Ternyata beliau adalah asli orang Bandung yang diberi tugas
mengajar di sebuah SMA di daerah Sukabumi. Sekarang beliau tinggal dan
mengontrak rumah di sekitar sekolah tempat mengajarnya. Pertanyaan dan jawaban
mengalir begitu saja dan terus susul menyusul sampai kami saling bercerita
tentang bangku sekolah yang kami lewati.
Saya
habis *pulang* menengok orang tua, dan minta doanya agar bisa masuk kuliah
lagi, ujarnya. Ibu sendiri mau ke mana, tanyanya.
“Tadi
saya dari kampus bu, ada ujian komprehensif. Saya berangkat ke Bandung-nya
kemarin. Menemui dosen minta tanda tangan untuk proposal disertasi.
Alhamdulillah semester ini tinggal melakukan penelitiannya.” Kataku
menjelaskan.
Bis segera tiba di
terminal Sukabumi, kami saling berpamitan. Si ibu turun di Sukaraja sementara
aku ditunggu suami di pintu gerbang terminal. Sambil menarik napas panjang,
Alhamdulillah tiba juga diterminal Sukabumi. Tapi perjuanganku menaklukkan
bangku sekolah belum usai.
Satu langkah
lagi tantangan yang aku taklukkan bernama bangku sekolah ini, yakni bangku
kuliah di ruang Pascasarjana S3 Ilmu Pendidikan salah satu Universitas terkenal
di Bandung ini. Aku yakin bisa, bisa, dan bisa, walaupun usia sudah menua.
Numpang promo ya Admin^^
BalasHapusajoqq^^cc
mau dapat penghasil4n dengan cara lebih mudah....
mari segera bergabung dengan kami... (k)
di ajopk.com ^_~
segera di add Whatshapp : +855969190856
Keren bu Hasanah critanyaaaaa, mantappppp
BalasHapus