LISAN
Oleh:
E. Hasanah
Lisan menunjukkan kata benda yang berarti
lidah, juga berarti kata-kata yang diucapkan. Atau berkenaan
dengan kata-kata yang diucapkan dengan mulut bukan dengan surat (Kamus Besar
Bahasa Indonesia /KBBI). Berbicara lisan itu sangat menarik karena apabila
digunakan dengan benar akan membawa manfaat, dan apabila tidak bijak
menggunakannya akan membawa madhorat. Pepatah Arab mengatakan, salâmatul
insan fî hifdhil lisân (keselamatan seseorang tergantung pada lisannya).
Dengan lisannya seseorang bisa menolong orang lain. Juga karena lisannya
seseorang dapat menimbulkan kerugian tak hanya bagi dirinya sendiri tapi juga
bagi orang lain.
Sangat penting bagi kita menjaga lisan
ini. Sebagai orang Islam, hendaklah memperhatikan bunyi hadits yang diriwayatkan
Imam al-Bukhari:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ
فَليَــقُلْ خَـيْرًا أَوْ لِيَـصـمُــتْ
Artinya; “Siapa
yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau
diam.”
Jelas hadits tersebut mengajarkan
kepada kita untuk berkata yang baik, menggunakan lisan menyampaikan hal-hal
yang benar. Dan jika tidak bisa menjaganya lebih baik diam. Perlu mencermati
bahwa Rasulullah SAW dalam hadits tersebut mengungkapkan nilai keimanan seseorang
sebelum memperingatkan tentang bagaimana sebaiknya lisan digunakan. Keimanan
adalah hal mendasar bagi umat Islam. Ini menunjukkan bahwa urusan lisan bukan
urusan sepele tapi perlu dicermati. Hadits di atas bisa dipahami sebaliknya
(mafhum mukhalafah) bahwa orang-orang yang tidak berkata baik maka patut
dipertanyakan kualitas keimanannya kepada Allah dan hari akhir.
Kenapa lisan dihubungkan dengan keimanan
kepada Allah dan hari akhirat?
Karena
lisan mengandung pesan bahwa segala ucapan yang dikeluarkan dari mulut itu,
sejatinya selalu dalam pengawasan Allah. Ucapan itu juga mengandung
pertanggungjawaban, bukan hanya di dunia melainkan di akhirat pula. Orang yang
berkata seenaknya tanpa mempertimbangkan dampak buruknya, menunjukkan
pengabaian terhadap keyakinan bahwa Allah selalu hadir menyaksikan dan hari
pembalasan pasti akan datang. Allah juga mengutus malaikat khusus untuk
mengawasi setiap ucapan kita, sesuai firmanNYA dalam QS. Qaf [50] ayat 18.
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ
عَتِيدٌ
"Tak ada
suatu katapun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang
selalu siap mencatat." (QS. Qaf [50] :18)
Mari kita menjaga lisan kita dari
perkataan yang tidak bermanfaat, jauhkan dari kata-kata yang bersipat ghibah
atau membicarakan keburukan orang lain. Ghibah terkadang tanpa sadar keluar sebagai
kembang obrolan yang asyik, namun itu berefek mempertaruhkan reputasi orang
lain, memupuk kebencian, serta merusak kepercayaan dan kehormatan orang lain.
Bahkan lisan juga tanpa terasa mengeluarkan fitnah, yakni sengaja menebar
berita tidak benar dengan maksud merugikan pihak yang difitnah. Umumnya fitnah
ini berujung adu domba, sehingga pertengkaran bahkan pembunuhan terjadi. Ini sikap
sangat dibenci Islam. Fitnah lebih keji dari kebohongan dan ini sangat menyakitkan.
Inilah relevansi manusia dikarunia akal sehat, agar bisa berpikir terhadap
setiap kata yang diucapkan.
Berbicara tentang nilai kebaikan pada lisan, ini juga akan berdampak pada
timbulnya kualitas ucapan yang dilontarkan. Ini penting dicatat supaya
kesalahan tak berlipat ganda karena lisan yang tak terjaga.
Rasulullah
bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَـافُ عَلَيْــكُمْ بَعْدِيْ
كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِـيمُ اللِّسَانِ
“Sungguh yang
paling aku khawatirkan atas kalian semua sepeninggalku adalah orang munafiq
yang pintar berbicara” (HR At-Tabrani).
Di era globalisasi ini, kata-kata atau ujaran tak semata muncul dari
mulut tapi juga bisa dari pikiran dan opini yang muncul di status Facebook,
cuitan di Twitter, meme di Instagram, konten video, dan lain sebagainya. Di media
sosial tak jarang juga dijadikan ajang tempat berbuat ghibah, fitnah, tebar kebohongan,
provokasi kebencian, bahkan sampai ancaman fisik yang membahayakan.
Lisanpun meluas maknanya mencakup pula opini-opini di dunia maya yang
secara nyata juga mewakili lisan kita. Dampak yang ditimbulkannya pun sama,
mulai dari adu domba, tercorengnya martabat orang lain, sampai bisa perang
saudara. Hendaknya kita berhati-hati menulis sesuatu di media sosial. Berpikir
dan ber-tabayyun (klarifikasi) menjadi sikap yang wajib dilakukan untuk
menjamin bahwa apa yang kita lakukan bernilai maslahat, atau sekurang-kurangnya
tidak menimbulkan mudarat.
Ingat bahwa Allah SWT mengutus malaikat khusus untuk mengawasi kata-kata
kita, baik kata-kata yang keluar dari mulut kita maupun ketikan jari-jari kita
di media sosial.
مَا
يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tak ada suatu
katapun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang
selalu siap mencatat." (QS. Qaf [50] :18)
Wallahu a’lam
bish-shawabi
Oh teringat pada kalimat " Mulutmu harimaumu" oh seram
BalasHapusIya bun... mengingatkan kepada diri sendiri. dan mudah2an yang lain juga bisa mengambil hikmahnya.
BalasHapus